Suara.com - Komnas HAM menduga ada indikasi obstruction of justice dalam penyelesaian kasus peristiwa berdarah Paniai yang terjadi pada 2014. Menanggapi pernyataan itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD meminta agar kasus tersebut diolah terlebih dahulu oleh Kejaksaan Agung.
Mahfud menyatakan, kasus berdarah yang terjadi di Paniai, Papua itu sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Penyerahan itu dilakukan usai Komnas HAM menyatakan Kasus Paniai sebagai pelanggaran HAM berat.
"Nantilah, sekarang kan sudah disampaikan ke Kejaksaan Agung, biar Kejaksaan Agung mengolah dulu," kata Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat pada Rabu (19/2/2020).
Mahfud mengklaim pemerintah tidak akan diam-diam dalam penyelesaian tragedi kekerasan aparat keamanan kepada warga sipil tersebut hingga sampai ke tingkat keputusan. Berbicara soal teknisnya, Mahfud menjelaskan bahwa Komnas HAM menyerahkan kepada Kejaksaan Agung berupa surat rahasia kemudian akan diolahnya.
Baca Juga: Kasus Berdarah Paniai Sampai ke Meja Kejagung, Pemerintah Bakal Transparan?
Lalu, setelah itu Kejaksaan Agung akan menyampaikannya laporan tersebut kepada Mahfud selaku Kemenko Polhukam hingga nantinya sampai ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
"Jadi sekarang hadir di Kejaksaan Agung dan kita terus mengolahnya sesuai dengan mekanisme yang tersedia dalam perlindungan hak asasi manusia dan penyelesaian kasus-kasus HAM," katanya.
Sebelumnya, Komnas HAM RI menetapkan tragedi berdarah di Paniai, Papua yang terjadi pada 2014 sebagai pelanggaran HAM berat.
Dalam penyelidikannya, Komnas HAM juga menemukan indikasi adanya tindakan menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice.
Anggota tim penyelidik yang juga menjabat sebagai Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan mengatakan, poin pertama yang mendorong adanya dugaan obstruction of justice adalah penghentian proses penyelidikan yang dilakukan Polda Papua.
Baca Juga: Pemerintah Janji Tindaklanjuti Tragedi Paniai Berdarah, Jika...
Ia menuturkan, penghentian proses penyelidikan proses tersebut dilakukan tidak lama dari kejadian tersebut. Dia menjelaskan, Polda Papua sudah memulai proses penyelidikan setelah peristiwa itu terjadi pada 7-8 Desember 2014.
Namun seiring berjalannya waktu, proses penyelidikan itu justru terhenti. Padahal pada saat itu, tim penyelidikan gabungan dari pusat baru saja terbentuk.
"Mengapa kami sebut obstruction of justice? Jadi seolah-olah kasus ini ingin dibiarkan saja berlalu tanpa pertanggungjawaban," jelasnya.