"Saya masih kecil, saya melihat bapak kandung saya dalam keadaan seperti itu…Hati saya hancur ketika itu. Tulang punggung keluarga saya, membesarkan saya, Bapak bisa bayangkan kalau Bapak jadi saya, dengan keadaan ibu tak bisa jalan, tak ada kerjaan. Adik masih bayi. Saya masih bocah."
"Kami tak punya tempat tinggal, bingung tinggal di mana, sampai saat ini, kami tak punya rumah, tinggal di sana sini, sekarang tinggal di kos-kosan… jujur dulu saya sangat kesal, dalam jiwa saya marah. Saya ingin semua tersangka dihukum mati, tak ada kecuali."
"Yang saya tak habis pikir, atas dasar apa pelaku ini melakukan seperti ini, yang katanya Islam, Islam mana yang membunuh saudaranya sendiri."
Ali Imron tertunduk mendengar pertanyaan dan pernyataan ini.
Baca Juga: Mahfud MD: Cabut Status WNI eks ISIS Tak Perlu Lewat Pengadilan
"Saya sedih ada pembunuh yang bilang dia Islam," tambah Garil lagi.
Ali Imron mulai menjawab dengan mengakui bahwa ia yang diminta oleh Imam Samudra, otak pengeboman untuk mencari sasaran.
"Saya yang disuruh survei di jalan Legian, karena Imam Samudra ingin meledakkan bom dan pilih diskotek yang paling banyak bulenya. Kami dapati Sari Club dan Paddy yang berseberang jalan," kata Ali.
"Saya ragu tapi kok mengikut. Jaringan kami Jemaah Islamiyah, ketika dapat perintah dari atasan harus taat melaksanakan. Dalam keyakinan kami, saya justru yang paling banyak terlibat," tambah Ali.
"Waktu saya mendengar suara bom, keraguan tetap ada. Begitu Amrozi ketangkap sebelum satu bulan, keyakinan saya bahwa jihad ini salah semakin besar," tambahnya lagi.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Anak WNI Eks ISIS Bisa Pulang Naik Sepeda dan Becak
Kesalahan yang tidak bisa ditebus