Dia mengklaim, teroris bisa diubah pola pikirannya dengan program deradikalisasi. Ia merujuk sejumlah eks teroris yang kini membantu pemerintah, seperti Ali Fauzi dan Ali Imron.
Meski ada kasus-kasus di mana eks teroris kembali radikal, kata Khairul, hal itu tidak boleh digeneralisasi.
"Benar, ada satu atau dua orang yang yang dibina BNPT jadi bomber, seperti suami-istri yang (melakukan bom di) Filipina itu. Tapi itu nggak bisa digeneralisir," ujarnya, merujuk peristiwa pengeboman gereja di Filipina tahun 2019.
"Program deradikalisasi memang belum optimal, tugas kita lah menyempurnakannya," ujarnya.
Baca Juga: Mahfud MD: Cabut Status WNI eks ISIS Tak Perlu Lewat Pengadilan
***
DADANYA sesak menahan kemarahan, kesedihan, depresi dan trauma yang selama ini ia pendam. Ia terdiam sambil menyeka air matanya. Garil Arnandha, berdiri di salah satu sudut yang tak jauh dari monument peringatan Bom Bali 1 di Legian, Bali.
Kala itu 12 Oktober 2019, Geril untuk pertama kalinya hadir dalam peringatan 17 tahun Bom Bali 1. Pemuda itu datang melihat nama sang ayah di monument itu. Aris Munandar, nama sang ayah tertera nomor empat dari atas pada monument.
Aris tengah menunggu penumpang di depan Sari Club, saat bom dengan berat sekitar 1,1 ton meledak pada tahun 2002. Korban meninggal mencapai 202 orang dan ratusan orang lainnya luka-luka.
Aris termasuk 38 orang korban meninggal asal Indonesia, sementara yang terbanyak 88 orang dari Australia dan lainnya dari sejumlah negara termasuk 28 orang korban dari Inggris.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Anak WNI Eks ISIS Bisa Pulang Naik Sepeda dan Becak
Saat serangan teroris terparah di Indonesia itu terjadi, Geril anak tertua Aris baru berusia 10 tahun. Anak kedua dan ketiganya masing-masing berumur lima tahun dan dua tahun, sementara ibu mereka tengah sakit tak berdaya.