Suara.com - Mereka tak saling kenal, tidak pula sekali pun pernah bersamuh. Namun, kisah seorang anak teroris dan putra korban serangan teror justru bertemu di satu titik: hancurnya kehidupan.
SEJUMLAH anak asal Indonesia hidup terlunta-lunta tanpa tahu arah,setelah orang tua mereka meninggal dalam perperangan di Suriah. Mereka anak-anak yang orang tuanya berstatus WNI tapi bergabung dengan kelompok teroris ISIS.
Quentin Sommerville, jurnalis BBC, menemui tiga anak Indonesia di kamp Al-Hol, Suriah Timur Laut. Seorang anak yang mengaku bernama Yusuf tak tahu harus ikut siapa lagi.
Orang tua dan saudara-saudaranya yang tergabung dalam pasukan ISIS meninggal dalam pertempuran. Bocah ini hanya bisa pasrah di sana.
Baca Juga: Mahfud MD: Cabut Status WNI eks ISIS Tak Perlu Lewat Pengadilan
"Saya tak tahu mau ke mana. Saya akan bertahan di sini," kata Yusuf kepada BBC seperti dikutip Suara.com.
Anak Indonesia lainnya, Faruk, kehilangan orang tuanya ketika desa terakhir yang dikuasai kelompok ISIS, Baghouz, diserang koalisi anti-ISIS.
Ia terpisah dengan keluarganya dan tak tahu apakah orang tuanya masih hidup atau sudah meninggal setelah Baghuz dibombardir.
Sebuah peristiwa dahsyat yang tak pernah terbayangkan olehnya. Ia melihat dan mengalami langsung serangan roket yang membuat orang-orang kelompok ISIS berhamburan berlarian menyelamatkan diri, sebagian di antaranya terluka dan tewas.
"Terjadi serangan roket. Saya tak tahu [apa yang harus saya lakukan]. Saya berlari dan setelah itu saya tak pernah melihat lagi keluarga saya," kata Faruk.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Anak WNI Eks ISIS Bisa Pulang Naik Sepeda dan Becak
Kisah yang sama juga diungkapkan Nasa, bocah Indonesia yang berada di kamp Baghouz. Ia menyaksikan sendiri serangan bom dari udara ke Desa tempat pertahanan kelompok ISIS.