Suara.com - Langit di Utara Jakarta terlihat mendung di sore itu. Kala Martoyo tengah merebus air di atas tungku berbahan bakar kayu dan ranting kering di gubuknya pada Kamis, 6 Januari 2020.
Selang beberapa menit, air yang direbus pun mendidih. Sekedar menjamu, Martoyo menawari tamunya untuk bersama menikmati teh hangat di gubuk sederhana hasil karyanya. Meski dalam kondisi serba kekurangan, Martoyo tetap menjamu tamunya dengan minuman teh andalannya.
Di dalam gubuknya tampak satu deret rak dari papan. Di atasnya berjejer beberapa toples berisi gula, teh dan garam.
Martoyo menyeduh teh dalam gelas plastik. Sembari itu, ia melinting rokok tembakau yang dicampur cengkeh. Aroma asap rokoknya sangat kental dengan tembakau lokal.
Baca Juga: Kemensos Siap Capai Target Penurunan Angka Kemiskinan hingga 7 Persen
****
Gubuk itu tidak beralaskan apa-apa, hanya tanah kering. Pada beberapa bagian, tiang kayu-kayu bekas berdiri menyangga atap yang terbuat dari perpaduan daun kelapa kering dan plastik.
Pun dindingnya berbahan dasar triplek. Meski tak terlalu kokoh karena hanya diikat tali tanpa dipaku, Maryanto tampak bahagia hidup di dalam 'istana sederhana yang dirakit sendiri.
Bukan lantaran ingin hidup hemat, tetapi memang Maryanto tak lagi memiliki uang untuk membeli paku membangun tempat tinggalnya itu. Bagunan kayu berukuran 2 x 2 meter persegi itu hanya disambung-sambung dengan ikatan tali.
“Nggak ada uang buat beli paku,” katanya kepada Suara.com
Baca Juga: Presiden Apresiasi Kemensos Turunkan Angka Kemiskinan
Gubuk itu tampak sudah reyot, atapnya kalau hujan bocor. Dia telah mengumpulkan kayu-kayu bekas untuk memperbaiki gubuknya yang tiris dan goyah itu.
Namun kakek 77 tahun ini ragu untuk merenovasi gubuknya, khawatir nanti digusur oleh Satpol PP. Mengingat kawasan itu sedang tahap renovasi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Gubuk itu terletak di tepi Danau Sunter, Jakarta Utara. Di sepanjang tepi danau tampak orang-orang duduk memancing.
Sebuah pemandangan yang sangat kontras, menggambarkan bagaimana ketimpangan hidup warga Ibu Kota. Gubuk Martoyo halaman depannya danau.
Sementara itu di seberang danau berdiri kokoh rumah-rumah megah, komplek Agung Podomoro dan apartemen mewah. Sedangkan di belakang gubuk adalah dealer mobil Astra Daihatsu. Di sekitar kawasan itu perumahan elite.
Martoyo hidup sebatang kara di gubuk reyot itu. Depan pintu gubuknya parkir sebuah sepeda dengan kondisi roda depan kempes. Di halamannya ada kadang ayam berukuran kecil untuk tiga ekor ayam. Di samping kandang itu teronggok tumpukan karung berisi botol botol plastik bekas air mineral, hasil memulung.
Sekeliling gubuk tampak beragam tanaman, ada pohon pisang, singkong, ubi dan rumput ilalang yang tumbuh liar menjulang ke langit.
Lelaki asal Gunungkidul, Yogyakarta ini mengaku sudah sekitar 22 tahun tinggal di gubuk tepi Danau Sunter. Dia hanya mengingat, kali pertama mendirikan gubuk untuk tempat tinggal itu dimulai sejak almarhum BJ Habibie menjabat sebagai orang nomor satu republik ini.
“Ya, sejak Pak Habibie itu lah,” ujarnya.
Martoyo memiliki satu anak perempuan dan lima cucu yang kini tinggal di Pemalang, Jawa Tengah. Ia punya istri, namun telah lama meninggalkannya karena menikah dengan orang lain.
Sebagai perantau, dahulunya ia bekerja sebagai tukang bangunan dan kerja serabutan di Jakarta. Semasa masih dengan istri dan anaknya, Martoyo tinggal di rumah sewaan di kawasan Jakarta Utara. Lantaran anaknya sudah berkeluarga dan ikut suami di Pemalang, ia membangun gubuk untuk tempat tinggalnya sendiri di tepi danau.
Sewaktu masih bertenaga, Martoyo suka berkebun. Ia menanam beragam tanaman di sekitar gubuknya, mulai dari pohon pisang, singkong, ubi, sayur-sayuran dan berbagai macam tumbuhan lainnya.
Untuk kebutuhan pokoknya sehari-hari cukup tersedia dari kebunnya. Untuk memakan ia tinggal memetik pisang, ubi, singkong dari kebunnya. Kala itu, dia membeli hanya beras, gula dan garam di pasar.
Sekarang di usianya yang senja, ia merasa sudah tak bertenaga lagi untuk menanam beragam tumbuhan di kebun tepi danau itu.
“Dulu waktu masih kuat berbagai macam yang saya tanam di sini. Sekarang sudah jarang, tenaga sudah gak kuat,” katanya.
Kekinian, Martoyo jarang masak nasi, untuk makan ia membeli nasi bungkus dari penjual asongan. Itu pun bila ada uang hasil memulung botol-botol plastik bekas, kalau tidak ada terpaksa puasa makan nasi dan hanya minum teh.
Hasil dari memulungnya tak menentu. Dia memulung juga tidak terlalu kejar target. Dalam sekarung botol-botol plastik itu beratnya sekitar empat sampai lima kilogram.
Per-kilogram botol plastik itu dihargai pengepul barang bekas Rp 3.500. Artinya dalam sekarung, ia cuma menghasilkan uang Rp 14 ribu sampai Rp 17.500, cukup buat sebungkus nasi dengan lauk telor dan tempe.
“Saya sudah makan tadi pagi beli dekat perempatan. Sekarang saya makan lebih sering beli, nasi sebungkus dengan lauk tempe dapat Rp 10 ribu,” ucapnya.
Meski usianya sudah lebih dari setengah abad yang serba kekurangan tak halangan baginya untuk merokok. Ia merokok dari tembakau lintingan yang ia beli di pasar tradisional Sumur Batu, Kemayoran.
Setiap kali ke pasar ia membeli tembakau satu bungkus berisi satu ons seharga Rp 30 ribu dengan satu bungkus plastik cengkeh seharga Rp 1.000 dan kertas buat lintingan Rp 1.000 per pak.
“sStu ons tembakau itu biasanya cukup untuk dua minggu,” ungkapnya.
Tak Mau Berharap Bantuan Pemerintah
Meski serba kekuarangan, ia tak mau meminta-minta. Ia selalu memegang teguh prinsipnya; Hidup menerima apa adanya. Prinsip itu adalah falsafah hidup orang Jawa yang diimplementasikan dari laku kehidupannya sehari-hari hingga diusia senjanya seperti saat ini.
Martoyo selalu bersyukur dengan diberi kesehatan dan umur panjang oleh Tuhan yang maha kuasa. Pantang baginya untuk mengemis kepada orang lain, selagi masih bertenaga dan masih bisa berusaha.
“Hidup itu terima saja apa adanya, kalau ada alhamdulillah, kalau nggak ada ya berusaha. Kalau nggak bisa usaha ya mau bagaimana lagi. Hidup ini nerimo, menerima apa adanya,” tuturnya.
Kendati memiliki KTP sebagai warga Sunter Jaya, Jakarta Utara, Martoyo tak pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Bahkan ia tak mendapatkan bantuan layanan kesehatan dari pemerintah, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun bantuan lainnya.
“Nggak ngurus saya (KIS dan bantuan lainnya),” kata dia.
Jika sakit, ia tak pernah berobat ke rumah sakit atau puskesmas karena tak ada uang. Bila jatuh sakit, ia hanya membawa tidur dan istirahat.
“Kalau sakit ya bawa tidur saja. Hidup yang berkah saja lah. Kuncinya yang penting pikiran tenang, pikiran bebas saja. Tak perlu resah,” ucap dia.
Martoyo mengaku punya niat untuk pulang ke kampung halamannya di Gunungkidul. Namun dia tak punya uang untuk ongkos pulang kampung. Jika nanti sudah punya uang, ia akan pulang ke kampung halamannya.
“Saya ada niat mau pulang ke kampung, nanti kalau sudah ada duit. Sekarang belum ada duit buat ongkos,” katanya.