Suara.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menuding aktivis sekaligus pengacara HAM Veronica Koman sebagai sosok anti pancasila. Veronica Koman sering menjelek-jelekkan Indonesia.
Mahfud MD menyebut Veronica Koman kerap menjelek-jelekan Indonesia di dunia internasional lewat isu Papua. Pernyataan tersebut diungkapkan Mahfud menyusul data Amnesty International Australia bersama Veronica yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Data tersebut berisi nama-nama rakyat Papua yang menjadi tahan politik dan warga sipil Papua yang tewas karena konflik bersenjata dengan TNI - Polri.
"Veronica Koman itu adalah seorang yang selalu menjelek-jelekkan Indonesia dan anti Indonesia, melalui Papua. Kalau orang menyerahkan surat seperti itu, itu banyak setiap hari menyerahkan surat, kok mau diistimewakan gitu?" kata Mahfud di Kompleks Kepresidenan, Rabu (12/2/2020).
Baca Juga: Veronica Koman Sebut 2 Tuntutan Masyarakat Sipil Papua untuk Pemerintah RI
Sebelumnya, Veronica Koman mengaku berhasil menyerahkan data tahanan politik (tapol) dan korban tewas Papua kepada Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
Penyerahan itu dilakukan saat Jokowi sedang berkunjung ke Canberra, Australia.
Berdasarkan rilis yang diterima Suara.com, Senin (10/2/2020), Veronica Koman mendesak pemerintah Australia untuk membahas pelanggaran HAM di Papua dengan Presiden Jokowi selama pertemuan bilateral tersebut.
"Tim kami di Canberra telah berhasil menyerahkan dokumen-dokumen ini langsung kepada Presiden Jokowi," ujar Veronica.
Dokumen tersebut, kata Veronica, memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Data Pelanggaran di Papua Sampah, Ini Reaksi Veronica Koman
"Kami juga menyerahkan nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian," imbuhnya.
Dalam pernyataan tertulisnya, Veronica juga mengungkit keputusan Presiden Jokowi yang membebaskan tapol Papua pada tahun 2015 lalu.
"Namun pada awal dari periode keduanya saat ini, terdapat 57 orang yang dikenakan makar yang sedang menunggu sidang. Langkah ini hanya akan memperburuk konflik di Papua,” kata Veronica.
Sejak Desember 2018, para gubernur, bupati, pimpinan gereja, pimpinan adat, akademik, aktivis dan mahasiswa telah memohon kepada Presiden Jokowi untuk menarik pasukan dari Nduga. Veronica mengklaim permintaan itu tidak pernah diindahkan pemerintah pusat.
Sebelumnya, Amnesty International Australia dan Veronica Koman juga mendesak pemerintah Australia menyampaikan situasi HAM di Papua Barat ketika bertemu dengan Presiden Jokowi.
Sebanyak 56 orang asli Papua dan satu Indonesia yang berbasis di Jakarta saat ini ditahan atas tuduhan pengkhianatan. Mereka saat ini sedang menunggu persidangan dan menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
"Orang-orang ini ditangkap ketika mengungkapkan aspirasinya selama demonstrasi menentang rasisme dan untuk referendum kemerdekaan pada Agustus dan September 2019 dan selama peringatan hari nasional Papua Barat pada 1 Desember 2019," kata Veronica, dalam keterangan tertulis, Minggu (9/2/2020).
Ia berkata dengan tegas, "Kami menuntut pembebasan mereka segera dan tanpa syarat."
Sementara itu, Amnesty International Australia menekankan bahwa kedua negara, Indonesia dan Australia, adalah anggota Dewan HAM PBB. Keduanya, memiliki tanggung jawab untuk memajukan hak asasi manusia.
Amnesty menyerukan Australia untuk mendorong Indonesia mewujudkan janjinya supaya membiarkan para penyelidik HAM dari PBB dan tidak menghambat mengakses Papua Barat.