Ilmuwan UGM: Skenario Terburuk Ibu Kota Negara Baru, Perlu Energi Nuklir

Rabu, 12 Februari 2020 | 07:00 WIB
Ilmuwan UGM: Skenario Terburuk Ibu Kota Negara Baru, Perlu Energi Nuklir
Desain ibu kota negara baru. (Suara.com/Fauzi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ilmuwan Metalurgi Nuklir, Bagas Pujilaksono Widyakanigara menyebutkan, pemerintah harus menyiapkan skenario terburuk untuk ibu kota negara baru di Kalimantan Timur dan Penajam Paser Utara. Salah satunya adalah terkait ketersediaan energi.

Bagas juga menyarankan pemerintah untuk mempersiapkan skenario terburuk itu saat membahas hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Ibu Kota Negara di Kalimantan Timur.

Bagas Pujilaksono Widyakanigara yang juga ilmuwan dari UGM itu mengatakan, harus ada feasibility study (FS) lebih detil soal air, tidak hanya untuk kehidupan, tapi misalnya juga untuk kebutuhan energi.

Ibu Kota Negara (IKN), kata dia, merupakan simbol negara yang harus disiapkan lebih bagus dari Jakarta, sehingga harus ada skenario paling ekstrem untuk persoalan ketersediaan air.

Baca Juga: Penajam Paser Utara, Ibu Kota Baru Dilanda Kebakaran Hutan

“Apakah perlu desalinasi air laut, mengingat air tanah tidak begitu memungkinkan, begitu juga air permukaan. Kalau tidak ada air beneran bagaimana?” ujar dia dalam Dialog Nasional VI Ibu Kota Negara Menuju Ibu Kota Negara Lestari yang Berkelanjutan di Bappenas, Jakarta, Selasa (11/2/2020).

Sedangkan terkait energi, Bagas justru mengatakan bahwa opsi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mau tidak mau harus dipikirkan. Apalagi penggunaan PLTU dengan batu bara tidak bisa digunakan karena Indonesia terikat dengan Paris Agreement.

“Kalau tidak ada angin, bagaimana? Mau pakai hidro, tapi katanya air tidak begitu banyak. Bagaimana pun ketersediaan listrik harus besar. Tidak mungkin Ibu Kota Negara mati lampu seminggu dua kali,” ujar Bagas.

Sementara, Kepala Departemen Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, mengatakan pula bahwa ada 109 lubang tambang di lokasi Ibu Kota Negara. “Skenario pemerintah seperti apa menyelesaikannya?”

Zenzi mengatakan, jangan sampai pemerintah justru menutupnya, karena malah akan membebani IKN atau justru daerah lain di luar Kalimantan Timur yang terdampak karena ada permintaan land swap.

Baca Juga: Intip Penelusuran Jalan Menuju Ibu Kota Baru di Penajam Paser Utara

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo mengatakan, pemerintah perlu mempersiapkan skenario terburuk berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang dapat membawa bencana asap untuk IKN.

“Saya turun ke lapangan di Kutai Kertanegara terkait karhutla. Sudah bisa diprediksi untuk karhutla. Maka, perlu ada manajemen dalam kondisi ekstrem seperti apa, sehingga bisa diatasi,” ujar dia.

Karhutla di Australia yang terjadi sejak Juli 2019 hingga saat ini, menurutnya harus menjadi pelajaran juga untuk Indonesia, terlebih karena api merambah hingga mendekati Ibu Kota Negara Canberra. Sementara emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sampai mencapai 1,2 miliar ton setara karbondioksida.

Mengembalikan Hutan

Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan bahwa pemerintah akan mengembalikan fungsi hutan di kawasan Ibu Kota Negara (IKN) baru yang berada di Provinsi Kalimantan Timur.

“Kita tidak bangun hutan beton, 30 persen saja mungkin. Kalau di Jakarta per satu hektare 50 orang, di sana 20-an orang per hektare. Banyak daerah kita biarkan, kembalikan fungsi hutan seperti semula,” kata Suharso.

Termasuk nantinya Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, yang menurut Suharso akan dikembalikan fungsi kawasan hutannya karena sudah berubah dengan aktivitas lain.

“Jadi banyak aspek lingkungan hidup menjadi bagian utama untuk menyusun detil rencana untuk Ibu Kota Negara,” tambahnya.

Ditambahkan Suharso, aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan menjadi pertimbangan, karena hampir seluruh mata di dunia melihat ke Indonesia.

“Apakah mampu? Kalau pindah, terus seperti apa? Low carbon development apakah bagian pertimbangannya, atau pertimbangannya biasa saja,” sebut Suharso.

Pendapat pesismistis tersebut, kata Suharso pula, patut dihargai dan dijadikan pemacu agar mampu menunjukkan ke dunia bahwa Indonesia memang bisa. Ia pun mengemukakan, banyak hal di IKN baru yang harus disesuaikan dengan kemajuan masa depan.

“Pemerintah juga tidak mau pembangunan justru memunculkan gap di wilayah lain. Tetapi justru menjadi trendsetter ramah lingkungan, zero carbon development, keberlanjutan, co-working space di mana-mana, orang kerja dengan gaya baru tapi dengan produktivitas tinggi," tandasnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI