Suara.com - Staf Khusus Presiden Arif Budimanta mengklaim pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat tahun 2020. Hal tersebut merespon pertumbuhan ekonomi yang naiknya hanya 5,02 persen pada tahun 2019 lalu.
Sesuai terget, peningkatan ekonomi Indonesia akan naik sebesar 5,3 persen pada tahun ini. Ia menyebut ada ada beberapa faktor yang disebut Arif akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Tahun 2020 kita punya asumsi PE di APBN 5,3 persen, maka kemudian ada faktor eksternal yang akan menopang sehingga bisa tumbuh baik," kata Arif di Wisma Negara, Kompleks Kepresidenan, Senin (10/2/2020).
Faktor pertama adalah rezim suku bunga rendah yang terjadi disejumlah negara seperti Jepang, Amerika Serikat, serta Uni Eropa. Hal tersebut diklaim Arif dapat membuat terjadi capital inflow ke Indonesia.
Baca Juga: Cerita Sri Mulyani, JB Sumarlin Sosok yang Tak Pelit Ilmu Ekonomi
"Pertama adalah rezim suku bunga rendah yang di banyak negara maju apakah Jepang, AS, UE, dan ini yang membuat kapital inflow ke Indonesia relatif menarik. Di sana rezim suku bunga negatif dan di sini seven days reponya 5. Lalu obligasi suku bungs rata-rata 7 persen. Ini faktor eksternal yang mendorong perekonomian Indonesia," jelasnya.
Kemudian faktor selanjutnya kata Arief adalah membaiknya harga komoditas, salah satunya Crude Palm Oli (CPO) dalam sektor ekspor. Ekspor minyak kelapa sawit diklaim ampuh sebagai andalan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Kemudian membaiknya harga komoditas. Salah satu yang membaik adalah CPO yang merupakan andalan ekspor Indonesia," kata Arif.
Meski demikian, ia menyebut ada beberapa risiko yang disinyalir dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mislanya, melambatnya mitra dagang.
Kemudian kontribusi dagang Indonesia dan China terhadap neraca dagang.
Baca Juga: JB Sumarlin Ternyata Orang yang Ajarkan Ilmu Ekonomi ke Sri Mulyani
"Dari sisi eksternal kita juga hadapi risiko, melambatnya ekonomi mitra dagang. Misalnya China. Kontribusi perdagangan Indonesia-China, terhadap neraca dagang kurang lebih 17 persen. Jadi kalau China bergejolak dari sisi demand maka akan berpengaruh terhadap ekspor Indonesia," kata Arif.