Suara.com - Selama bertahun-tahun, setiap 9 Februari, sekelompok komunitas pers dan pemerintah selalu menggelar perayaan Hari Pers Nasional (HPN). Namun, setiap perayaan diiringi polemik: tepatkan kaum jurnalis merayakannya?
Presiden Jokowi mengakui kapok kalau tak menghadiri perayaan Hari Pers Nasional. Karenanya pula, ia jauh-jauh datang ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2), untuk mengikuti perayaan HPN 2020.
"Saya kapok kalau enggak hadir di acara HPN, wartawan teman saya sehari-hari,” kata Jokowi ketika berpidato dalam acara HPN 2020 di halaman kantor Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Jalan Dharma Praja Nomor 1 Banjarbaru, Sabtu.
Meski sedang dalam agenda kenegaraan di sejumlah daerah, Jokowi tetap menyempatkan diri hadir di Banjarmasin.
Baca Juga: AJI-IJTI: Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional
"Tadi dalam perjalanan ke Canberra, saya membelokkan ke Banjarmasin demi menghadiri Hari Pers Nasional,” katanya.
Presiden mengatakan, kemana pun pergi, yang selalu ikut adalah para wartawan. Bahkan kadang menterinya tidak ikut, justru wartawan yang mengawal.
“Yang mengejar saya sehari-hari, yang menghadang saya sehari-hari adalah insan pers,” katanya.
Kadang sebagai Presiden ia gugup saat bertemu wartawan, terkait pertanyaan yang dilontarkan oleh kuli tinta, bahkan ada informasi yang belum ia ketahui dari bawahannya.
“Jadi kadang saya jadi gugup dan gagap, karena tidak siap dengan pertanyaan yang disampaikan wartawan,” katanya.
Baca Juga: AJI Indonesia dan IJTI Minta Ubah Tanggal HPN Jadi 23 September
Polemik
Perayaan HPN kekinian masih menjadi polemik. Sebab, tidak semua komunitas pers setuju terhadap tanggal Hari Pers Nasional.
Kelompok yang pro HPN pada 9 Februari adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), tidak menyepakati tanggal tersebut.
Sejumlah kalangan menilai tanggal 9 Februari tidak tepat ditetapkan sebagai HPN, sehingga harus diluruskan.
HPN selama ini mengacu pada hari lahir PWI yang ditetapkan oleh Presiden Soeharto—penguasa Orde Baru yang menindas pers—melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985.
Pada era itu, PWI adalah satu-satunya organisasi wartawan yang diakui dan diizinkan oleh pemerintah.
Semasa Orba berkuasa, PWI menjadi kepanjangan tangan pemerintah yang otoriter. Di tangan Soeharto selama 32 tahun, pers dikekang dan tidak ada kebebasan.
Pada akhir-akhir masa pemerintahan Soeharto, PWI memaklumi pembredelan sejumlah media.
Kapan hari yang tepat sebagai HPN?
Sejarawan senior, Asvi Warman Adam berpandangan hari pers nasional harus berdasarkan peristiwa yang bisa dipertanggungjawabkan sebagai tonggak pers Indonesia. Hal itu disampaikan Asvi kepada Suara.com beberapa waktu lalu.
Asvi memunyai ide mengacu pada kiprah Tirto Adhi Soerjo dan Abdoel Rivai. Keduanya tokoh pers Indonesia yang menjadi jurnalis dan menerbitkan surat kabar di era perjuangan kemerdekaan awal 1990-an.
Ia mengusulkan momentum bersejarah lain di Indonesia, seperti tanggal berdirinya Medan Prijaji (media pribumi pertama) pada 1 Januari 1907.
Sebagai alternatif, Asvi juga mengusulkan tanggal lahir Tirto Adhi Soerjo pada 7 Desember 1918 sebagai pengganti hari perayaan HPN.
Sejarah pers, pernah ditulis Ahmat Adam dalam buku “Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan”.
Dalam buku itu disebutkan, masyarakat zaman VOC mulai menyadari manfaat pers sebagai penyampai kabar aturan hukum dan kebijakan pemerintah saat itu.
Pada 1831 terbit surat kabar partikelir yang pertama. Kemudian berkembang setelah itu, kelompok pribumi mengelola media massa sendiri.
Beberapa nama di antaranya adalah Tirto Adhi Soerjo yang mendirikan Medan Prijaji tahun 1907.
Namun, apakah betul Medan Prijaji sebagai surat kabar pribumi pertama?
Sebenarnya ada juga Abdoel Rivai yang lebih awal menerbitkan Bintang Hindia pada 1901.
Karenanya, penetapan Hari Pers Nasional bisa saja mengacu dari peristiwa sejarah yang dilakukan kedua tokoh itu.
Tirto Adhi Soerjo Sebagai Rujukan HPN?
Tirto adalah tokoh yang sangat kuat dari sisi prestasi dan tercatat dalam sejarah kemerdekaan Republik Indonesia.
Tirto merupakan pahlawan nasional dan telah dikukuhkan sebagai Bapak Pers Nasional pada 1970.
Ketika itu tulisan-tulisannya diterbitkan di koran mingguan bernama Medan Pridjaji. Koran yang dikelola Tirto ini pertama di Jawa.
Segmen mingguannya berisi kelompok terpelajar pribumi dengan mengangkat isu tentang kesejahteraan pribumi, pendidikan dan politik.
Koran mingguan ini dikelola secara independent dan kompromi dengan pemerintahan Hindia Belanda. Isu yang pernah diangkat seperti kritik tehadap kaum priyayi korup dan pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan.
Sebelum menerbitkan Medan Pridjaji, Tirto sempat menerbitkan Soenda Berita di antara 1903 sampai 1905.
Setetelah Medan Pridjaji tutup menerbitkan Putri Hindia. Selain tokoh pers, dia juga membentuk Sarekat Dagang Islam.
Sosok Abdoel Rivai
Abdoel Rivai, Namanya jarang dikenal. Ia adalah maestro, dokter dan juga wartawan. Pada 1990 ia memprakarsai surat kabar Pewarta Wolanda. Surat kabar ini terbit di Amsterdam dengan bahasa Melayu.
Bersama Henri Constant Claude Clockener Brousson, Rivai menerbitkan Bintang Hindia pada Juli 1902.
Meski berbeda dengan Tirto, Abdoel Rivai ini dulu lebih ‘kooperatif’ terhadap Belanda. Dia pernah memimpin surat kabar milik Belanda.
Di dalam surat kabar itu ia mengajarkan kemajuan, menjadikan bumiputera ini sebagai kemajuan jurnalisme.
Pada waktu itu, Rivai mempunyai strategi mengajarkan nasionalisme dan kebangsaan.
Rivai juga seorang koresponsen pribumi yang pertama yang menulis surat kabar di Indonesia. Ia pernah tinggal di Belanda, Paris dan Eropa.