Suara.com - Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Bali penting untuk segera disahkan oleh DPR RI.
Sebab, kata dia, Bali secara legal prosedural hingga kekinian masih berstatus “negara bagian” Republik Indonesia Serikat.
Bali dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, NTB, dan NTB sebagai Negara Bagian Sunda Kecil.
UU No 64/1958 itu masih mengacu pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (UUDS 50) dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, bukan NKRI yang didasarkan UUD 1945.
Baca Juga: Perlu Dilakukan Lagi Pemetaan Wisata Bali
Hal tersebut dipresentasikan Gubernur Wayan Koster dalam rapat bersama DPR RI di Jakarta, Jumat (7/2/2020).
"Jadi (UU 64/1958) sudah tidak relevan. Saat itu (RIS), misalnya nama kami masih Sunda Kecil dan ibu kotanya di Singaraja. Ibu kota Provinsi Bali sekarang adalah Denpasar. Sekarang kami kan NKRI, Bali bagian NKRI. Jadi kalau pakai UU 64/1950, Bali, NTB dan NTT kan negara bagian. Jadi UU ini harus diubah,” kata Wayan Koster.
Lucunya, selain tidak sesuai UUD 1945 dan NKRI, sejumlah produk hukum daerah seperti peraturan daerah dan peraturan gubernur Bali dalam konsiderannya masih mengacu pada UU 64/1958 yang sebetulnya sudah tak berlaku.
"Ini pertimbangan utama, karena UU ini masih diberlakukan di Bali, sehingga tiap produk hukum pemprov mengacu pada UU zaman RIS. Ini kan tidak sesuai hukum tata negara, karena tak mengacu pada UUD 45,” kata dia.
Selain itu, menurutnya, UU No 64/1958 sudah tidak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan perkembangan zaman dalam pembangunan daerah Bali.
Baca Juga: Catat! Wisata Bali Masih Aman Meski Gunung Agung Berbahaya
Koster juga menegaskan, RUU Provinsi Bali bukanlah dimaksudkan untuk membentuk daerah otonomi khusus. Justru, hal ini akan memperkuat otonomi di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.
"Otonomi tetap di tingkat kabupaten/kota, dan melalui RUU Provinsi Bali kami harapkan justru ketimpangan kabupaten/kota di Bali segera teratasi," ujarnya.
Dia kembali menjelaskan, UU Nomor 64 Tahun 1958 tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan dan perkembangan politik, ekonomi, sosial-budaya, potensi daerah, serta kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi, dalam rangka menciptakan otonomi daerah yang berdaya saing, sehingga perlu disesuaikan.
“Pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi Bali selama ini belum sepenuhnya menjamin pelestarian adat istiadat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal sebagai jati diri masyarakat Bali.”