Suara.com - Aksi Kamisan yang digelar keluarga korban pelanggaran HAM berat di sebrang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2020) kedatangan tiga warga Mojokerto yang melakkan aksi jalan kaki dari kampung asalnya.
Alasan tiga warga Mojokerto itu ikut bergabung dalam aksi Kamisan ini untuk mendesak Presiden Joko Widodo agar menghentikan proyek tambang batu andesit atau tambang pasir batu (Sirtu) karena dianggap merusak lingkungan.
Bahkan, Ahmad Yani terisak tangis saat berorasi di sebrang kantor Kepala Negara.
"Pak Jokowi, saya mohon dengan sangat kami bertiga enggak ada niat berdemo, saya ingin mengadu sampai berjalan kami dari Jatim ke Jawa Barat (Jakarta)," ujar Yani saat berorasi.
Baca Juga: 13 Tahun Menanti Keadilan, Aksi Kamisan depan Istana Semakin Dipersulit
Yani bahkan mengaku siap mati di depan Istana daripada harus pulang ke Mojokerto.
Pasalnya usai melaporkan aktivitas penambangan tersebut kepada desa, kecamatan, hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah, dirinya dan warga lainnya mendapatkan intimidasi seperti ancaman penculikan hingga pembunuhan.
"Yang kami lakukan beberapa hari kami ditemui , lebih baik saya mati di Istana daripada paling dibunuh orang," ucap Yani dengan mata berkaca-kaca.
Tak hanya itu, Yani menyebut di Indonesia masih terdapat penjajahan yakni penjajahan dari pengusaha tambang.
Hal tersebut kata dia masih terjadi di wilayahnya karena adanya penambangan batu andesit atau tambang pasir batu.
Baca Juga: Sebelum Jokowi Buka Puasa di Monas, Aksi Kamisan Sudah Diminta Tak Digelar
"Di Indonesia ini masih ada penjajahan dari keserakahan tambang-tambang yang ada di hutan kami. Allahu Akbar. Apa arti kemerdekaan di Indonesia ini kalau seperti adanya. Tolong pak polisi, kami merasa dijajah di Jawa Timur," katanya.