Suara.com - Tiga warga asal Mojokerto, Jawa Timur melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Kepresidenan Jakarta agar bisa bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka berharap aksi ini bisa menjadi perhatian Jokowi dan mau menghentikan tambang batu andesit atau tambang pasir batu (Sirtu).
Warga tersebut adalah Ahmad Yani (45), Sugiantoro (31), dan Heru Prasetiyo (24). Mereka mengklaim mewakili seluruh masyarakat yang ada di Desa Lebak Jabung, Kecamatan, Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Pada Kamis (6/2/2022) pukul 12.12 WIB, mereka berjalan kaki dari Sekretariat Jatam, Jalan Mampang Prapatan IV. Nantinya mereka akan bergabung dengan aksi Kamisan di seberang Istana sore nanti.
Ketiganya juga tampak membawa bendera merah putih dan tas ransel, tiga pria tersebut berjalan kaki agar bisa menemui Jokowi.
Baca Juga: Jokowi: Kerugian Akibat Karhutla di Indonesia Capai Ratusan Triliun Rupiah
Tak hanya itu, mereka juga membawa spanduk yang bertuliskan "Tolak Tambang di Sungai Woro, Mojokerto. Jangan Jadikan kami Salim Kancil yang ke 2 di Jawa Timur". Spanduk tersebut diikat di bajunya dengan menggunakan tali rapia.
Mereka tampak didampingi salah satu aktivis Jatam.
Tiga warga Mojokerto tersebut sudah berjalan kaki dari Mojokerto selama delapan hari sejak tanggal 26 Januari 2020 dan tiba di Jakarta tanggal 1 Februari 2020.
"Kedatangan kami untuk menyampaikan surat kepada pak Jokowi untuk memperjuangkan kelestarian alam hutan lindung, cagar budaya, situs religi dan area pertanian dan sungai yang kami cintai," ujar Ahmad Yani salah satu warga Mojokerto yang ikut aksi jalan kaki saat ditemui di Sekretariat Jatam, Jalan Mampang Prapatan, Jakarta, Rabu (6/2/2020).
Aksi penambangan batu andesit kata Yani, sudah mendapat penolakan dari warga sekitar. Namun pada 11 Oktober 2018, perusahaan tambang atas nama CV Sumber Rejeki dan CV Rizky Abadi memaksa melakukan penambangan.
Baca Juga: Said Didu Ungkap Daftar Janji Jokowi yang Bikin Sri Mulyani Mules
Namun warga menolak rencana penambangan saat diskusi di balai desa karena berdampak kerusakan lingkungan dan rusaknya sumber air yang menjadi kebutuhan warga desa sehari-hari.
Kemudian satu tahun kemudan, atau tepatnya 7 Desember 2019 perusahaan kata Yani, memaksakan penambangan dengan mendatangkan satu unit excavator untuk melakukan penambangan.
Perwakilan perusahaan ketika itu menunjukkan surat izin tambang yang sejak awal tidak pernah mendapatkan persetujuan warga sekaligus melakukan penambangan batu andesit hingga 20 sampai 25 truk per hari.
Selanjutnya, pada 23 Januari 2020 perusahaan menambah jumlah ekskavator untuk melakukan penambangan di desa Lebak Jabung.
"Sejak itu penambangan makin masih dilakukan lengkap dengan pengawalan para preman perusahaan yang kerap mengintimidasi mengancam kami keluarga dan saudara-saudara kami yang memperjuangkan kelestarian hidup serta situs-situs penting Majapahit di Mojokerto," kata di.
Yani berharap perjuangannya berjalan kaki bersama kedua rekannya membuahkan hasil.
Ia mengaku sudah sudah melaporkan penambangan tersebut kepada desa, kecamatan, hingga Gubernur Jawa Timur Khofifah. Namun hingga kini belum ada penyelesaian.
"Kami minta pertolongan perlindungan keluarga kami sodara kami. Kami harap bisa bertemu langsung dengan pak Jokowi. Karena kami kami sudah berupaya dari desa hingga gubernur tapi tidak ada hasil," kata dia .
Lebih lanjut, maksud kedatangan mereka dengan aksi jalan kaki untuk mempertanyakan adanya izin yang keluar tanpa ada rekomendasi dari pemerintah desa. Namun aksi tambang batu andesit tetap dilakukan.
"Harapan kami hentikan sementara tetapi berjalan sampai sekarang," kata dua.
Selama perjalanan menuju Jakarta, Yani dan kedua rekannya mengklaim hanya membawa uang Rp 600 ribu. Uang tersebut didapat dari sumbangan warga Desa Lebak Jabung.
Mereka juga membawa beberapa baju dan celana yang disimpan di ransel.
"Uangnya dari donasi warga yang mendukung ikhtiar dan usaha kami untuk menemui Presiden," katanya.