Suara.com - Lembaga Bantuan Hukum Pers menilai Rancangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) atau Omnibus Law juga akan mengancam kinerja pers, sebab akan mempengaruhi undang-undang pers dan undang-undang ketenagakerjaan.
Pengacara LBH Pers, Ahmad Fathanah, mencatat ada lima poin ketenagakerjaan pers yang terancam dengan adanya Omnibus Law, antara lain menyangkut definisi kerja, upah minimum, outsourcing, Tenaga Kerja Asing (TKA), dan pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Ahmad menjelaskan dalam aturan ketenagakerjaan saat ini ada struktur antara perusahaan media dan wartawan sementara dalam Omnibus Law struktur itu kabarnya akan berubah menjadi sistem kemitraan.
Kedua yaitu skema outsourcing di perusahaan media akan mengaburkan hak-hak dari wartawan.
Baca Juga: AJI Jakarta Sebut Upah Layak Jurnalis Pemula 2020 Seharusnya Rp 8,7 Juta
Padahal dalam UU Ketenagakerjaan saat ini, seorang pekerja harus menjadi karyawan tetap jika telah menjalani masa kontrak selama 3 tahun.
Ketidakjelasan status kerja itulah yang bisa membuat masalah baru seperti penentuan upah minimun dan penyelesaian hukum bagi wartawan akan kabur.
“Adanya Omnibus Law itu lalu upah minimumnya gimana? Lalu pekerja dibikin outsourcing, ini justru akan mengaburkan hak-hak mereka,” kata Ahmad melalui keterangan persnya, Minggu (26/1/2020).
Sisanya yaitu isu upah minimum, Tenaga Kerja Asing (TKA) yang tak harus lagi tenaga spesialis, dan pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Wahyu Dhyatmika menjelaskan bahwa masih banyak perusahaan media yang melarang karyawannya mendirikan serikat pekerja.
Baca Juga: Mahfud MD: Jurnalis Mongabay asal AS Philip Jacobson Sudah Dibebaskan
“Proses mendirikan serikat pekerja di media itu tidak mudah. Seringkali teman jurnalis yang mendirikan serikat diberangus, dimutasi ke bagian lain, bahkan di PHK,” ucap Wahyu.