Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) buka suara terkait curhatan Dede Luthfi Alfiandi, terdakwa kasus melawan aparat saat demo pelajar di DPR yang mengaku dianiaya hingga dipaksa mengakui hal yang tak dilakukannya.
Terkait hal ini, YLBHI menganggap tindakan penyiksaan hingga penyetruman yang diakui dialami Lufhfi itu merupakan perbuatan yang mengerikan.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur seperti dikutip Ayobandung.com--jaringan Suara.com, Jumat (24/1/2020) mengatakan, penyiksaan itu merupakan metode lama seperti zaman kolonial. Sebab, menurutnya zama itu belum ada KUHP dan UUD 1945 yang di dalamnya terdapat larangan penyiksaan.
"Anak-anak mendapat penyiksaan, disetrum setengah jam, mata ditutup, itu sangat mengerikan sekali," kata Isnur.
Baca Juga: LPSK soal Curhatan Luthfi Disetrum Polisi: Bentuk Abuse Power Penegak Hukum
Menurutnya, adanya penyiksaan itu menandakan aparat kepolisian telah melakukan empat pelanggaran sekaligus. Kata Isnur, pelanggaran pertama terhadap UUD 1945. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan. Hal itu termaktub dalam pasal 28G.
Kedua, pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan bentuk kekerasan yang tidak manusiawi lainnya. Ketiga, pelanggaran terhadap KUHP pasal 422.
"Seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun," demikian bunyi pasal tersebut.
Keempat, pelanggaran terhadap aturan internal kepolisian.
"Sebab, ada yang namanya Peraturan Kapolri tentang Implementasi HAM Tahun 2008 dan juga ada Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan Tahun 2019. Yang jelas, di dalamnya melarang melakukan penyiksaan atau kekerasan terhadap tersangka, saksi, ataupun korban," ujar Isnur.
Baca Juga: Luthfi Ngaku Disetrum Penyidik Polisi, AII: Usut Tuntas
Oknum terduga pelaku penyiksaan itu juga melanggar kode etik kepolisian, yang menyebut polisi adalah pelindung dan pengayom HAM. Dengan serangkai pelanggaran itu, Isnur berpendapat oknum polisi yang diduga menyiksa Lutfi harus ditindak dengan cara dipecat dan disidangkan secara pidana.
"Tapi, ini butuh tekanan yang besar karena biasanya jarang (kasusnya) diproses," kata dia.
Seperti diketahui, Luthfi, terdakwa kasus melawan aparat kepolisian saat demo pelajar menolak RKUHP di depan Gedung DPR RI mengaku dianiaya oleh penyidik Polres Jakarta Barat.
Luthfi mengungkapkan disetrum oleh penyidik agar mengaku jika dirinya melempar batu ke arah polisi saat demo.
Hal itu diungkapkan Luthfi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020). Dalam sidang beragenda pemeriksaan terdakwa, Luthfi mengaku disetrum oleh penyidik sekitar 30 menit.
"Saya disuruh duduk, terus disetrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh ngaku kalau lempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar," kata Luthfi.
Ketika itu, Luthfi mengaku dalam kondisi tertekan. Sehingga, dia pun akhirnya mengaku melempar batu ke arah aparat kepolisian meskipun itu tidak dilakukannya.
"Saya saat itu tertekan makanya saya bilang akhirnya saya lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga," katanya.