Cerita comblang pengantin pesanan
Faktor kemiskinan itu juga muncul saat saya berbincang dengan Nurlela, perempuan yang dituduh Merry menjerumuskannya ke comblang alias agen pengantin pesanan.
Nurlela berkata, satu-satunya alasannya berhubungan dengan comblang adalah uang. Ia adalah pengantin pesanan dari generasi sebelum Merry.
Tahun 2016, saat berusia 19 tahun, ia menikah dengan laki-laki China. Tak sampai setahun di negara itu, Nurlela kembali ke Indonesia karena putranya yang masih balita sakit paru-paru—Agustus lalu anaknya itu meninggal.
Baca Juga: Miris, Perempuan Indonesia Jadi Korban Perdagangan Manusia di Australia
Setelah tak lagi berniat menjadi pengantin pesanan, Nurlela diminta comblang mencari perempuan lain untuk 'dijodohkan' dengan laki-laki asal China.
Dalam peran barunya itu, ia mendapat upah sebesar Rp6 juta.
Namun Nurlela mengaku baru belakangan ini tahu bahwa tindakannya bisa dikategorikan sebagai kejahatan.
"Dulu fokus saya uang, anak saya sakit, jadi pikiran saya cuma cari uang. Saya tidak tahu itu perdagangan manusia," ujarnya.
"Bos pancing saya, dia bilang 'kau cari cewek lagi, nanti kau dapat uang lebih banyak'. Saya ingin dapat uang itu untuk mengobati anak saya."
Baca Juga: Buron 17 Tahun, Pelaku Perdagangan Manusia Ditemukan Sembunyi di Gua
"Tapi saya sebenarnya agak curiga. Bos tahu saya masih polos."
"Saya sekarang trauma karena kakak sepupu saya bilang, saya yang jual dia. Kalau kemarin dia tidak bisa pulang, mungkin kemarin saya korbankan diri pergi ke China supaya bisa jemput dia," kata Nurlela.
Merry melaporkan ke polisi sejumlah orang yang ia tuding terlibat dalam perkawinannya dengan laki-laki China. Nurlela, salah satu yang diadukan Merry, sempat dipanggil kepolisian.
Hingga saat ini belum ada satu pun orang yang dijadikan tersangka dalam perkara Merry.
Pemalsuan identitas pengantin pesanan
Mantan pengantin pesanan lain yang saya temui bernama Yuli di Sungai Pinyuh, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Yuli belum setengah tahun kembali ke Indonesia setelah hijrah dan menikah ke China selama beberapa bulan.
Bekas pengantin pesanan ini kini bekerja sebagai pelayan di toko pakan burung di Mempawah.
Yuli, seorang keturunan Tionghoa, besar dari keluarga petani. Ia tidak tamat SMP. Pada umur 16 tahun, ia menerima tawaran comblang untuk menikah dengan laki-laki China.
"Saya berpikir, kalau saya nikah dengan orang China, orang tua saya akan bahagia, saya akan hidup mewah di sana. Itu yang saya bayangkan."
"Laki-laki yang dikenalkan ke saya itu pendiam, terlihat seperti orang baik. Saya sempat cari tahu orang yang pernah nikah ke China, rata-rata mereka dapat suami yang baik," kata Yuli.
Segera setelah mengiyakan tawaran menikah itu, kata Yuli, comblang mengurus administrasi kependudukan serta syarat kepergiannya ke China.
"Saya dibuatkan paspor. Nama saya diganti. Umur saya juga dipalsukan jadi 24 tahun," tuturnya.
Yuli berkata, permohonan izin tinggalnya ditolak Kedutaan China di Jakarta. Belakangan ia berangkat dengan visa turis.
Kisah yang dialami Yuli di China nyaris serupa dengan Merry. Paspornya dipegang mertuanya. Janji uang kiriman untuk orang tua di Kalimantan tak pernah ditepati suaminya.
Saat akhirnya kabur dari rumah suami dan mengadu ke kantor polisi soal kekerasan yang ia terima, Yuli justru ditahan. Tuduhan terhadapnya: visa yang kedaluwarsa dan penyalahgunaan izin kunjungan.
"Di tahanan saya ketemu banyak orang, dari Vietnam, Kamboja, semua kasusnya sama seperti saya. Ada yang sudah dikurung satu tahun, tapi belum dipulangkan," kata Yuli.