"Hidup mati saya sudah tidak ada yang tahu"
Sejak saat itu proses perkawinan Merry dengan laki-laki China itu pun dimulai, dari pertunangan bernuansa tradisi Dayak hingga urusan administrasi paspor dan visa.
Berbeda dengan perkawinan pertamanya, Merry mengaku tidak ada unsur cinta dalam rumah tangga keduanya. Ia pun tak menguasai Mandarin, bahasa yang digunakan suami keduanya.
Akhir tahun 2018, dibiayai comblang, Merry terbang ke China bersama ayahnya. Setibanya di Beijing, Merry diajak keluarga suaminya berkeliling kota, termasuk ke Lapangan Tiananmen.
Baca Juga: Miris, Perempuan Indonesia Jadi Korban Perdagangan Manusia di Australia
Dan hari-hari yang tak pernah Merry bayangkan terjadi setelah ayahnya pulang ke Indonesia, kondisi yang ia sebut sebuah perangkap.
"Aktivitas saya dari pagi nyapu, ngepel, nyuci pakaian, masak, lalu masuk ke kamar. Sorenya begitu lagi. Setiap hari. Saya tidak tahu kenapa tidak boleh keluar rumah, mertua bilang dia takut saya diculik orang," kata Merry.
"Bulan Desember bapaknya mulai kurang ajar. Saya menerima pelecehan seksual. Saya kasih bukti ke suami, tapi dia tidak percaya. Saya dipukul kayu."
"Handphone saya diambil. Pamannya cekik saya, bibinya pegang tangan saya, ibunya tarik ponsel dari tangan saya."
"Saya putus hubungan dengan keluarga. Hidup mati saya sudah tidak ada yang tahu. Setiap hari kepala saya dipukul. Saya cuma bisa pasrah dan berdoa," ujar Merry.
Baca Juga: Buron 17 Tahun, Pelaku Perdagangan Manusia Ditemukan Sembunyi di Gua
Peluang untuk melarikan diri
Merry berkata suaminya tidak pernah mengirim uang untuk keluarganya di Landak, Kalimantan Barat. Ibu mertuanya malah menyuruhnya bekerja membuat kerajinan tangan, tanpa upah.
April 2019, Merry menerima tawaran bekerja di pabrik gelas. "Saya pikir kalau saya tidak ambil peluang itu, seumur hidup saya akan terus di rumah suami," ucapnya.
Di pabrik itu, Merry ditugasi menyusun gelas ke dalam kardus. Walau keluar rumah, ibu mertua Merry tetap menunggui dan mengawasinya di pabrik.
Meski begitu, Merry berkata itu adalah peluang terbesarnya untuk kabur dan pulang ke Indonesia.
"Saya berdoa terus dalam hati. 'Kalau memang ini peluang saya kabur, Tuhan tolong saya.' Saya menunggu kesempatan terus."
"Hari ketujuh kerja di sana, sekitar jam 12 siang, saya lihat ada pintu untuk naik ke tembok, saya panjat walaupun tidak tahu apa di balik dinding itu. Ternyata kandang babi, saat saya lompat mereka teriak, saya berlari sejauh mungkin."
"Saya cari taksi. Saya bilang ke sopir mau ke KBRI, tapi dia tidak mengerti bahasa saya. Saya cuma bilang, 'Beijing, Beijing!'"
Dan itu bukanlah akhir dari pelarian Merry. Uang di kantongnya tak cukup mengantarnya ke Beijing. Sopir taksi membawa Merry ke kantor kepolisian.
Di sana, kata Merry, ia tak mendapatkan jaminan mendapat pertolongan untuk pulang ke Indonesia. Ia mengaku diinapkan kepolisian setempat di sebuah kamar sewaan selama sepekan.
Tak ada bekal makanan atau minuman, seminggu itu Merry bertahan dengan cara meneguk air keran. Selama penantiannya itu, Merry bertemu perempuan pengantin pesanan asal Indonesia.
Lia, nama perempuan itu, menyarankan Merry menuliskan kondisi dan rencananya untuk pulang ke Indonesia ke Facebook.
Dan dari unggahan itulah, Serikat Buruh Migran Indonesia mengenal Merry dan akhirnya membantu kepulangannya.
"Tiga hari setelah membuat status itu, saya dijemput polisi. Sepanjang jalan saya berdoa. Saya tidak tahu kalau hari itu saya akan pulang ke Indonesia, saya kira bakal dikembalikan ke rumah suami," kata Merry.
"Anak saya diejek anak pelacur"
Merry hingga kini belum dapat melupakan rentetan peristiwa di China yang ia sebut mengerikan. Saat saya menemuinya di Landak, Merry hanya berdiam diri di rumah orang tuanya. Ia mengaku sesekali ke ladang membantu ayahnya mencari sayuran di pinggir hutan.
Merry belum berpikir untuk kembali bekerja. Perundungan tetangga membuatnya kecil diri. Cercaan juga didapatkan anaknya yang sekarang duduk di bangku kelas empat SD.
"Tetangga saya bilang 'anak saya anak lonte, mamamu lonte'. Anak saya yang paling kecil kalau pulang sekolah biasanya nangis karena malu," ujar Merry.
"Dia mengeluh, 'Ma kalau kita ada uang, kita pindah ya dari sini. Aku tidak tahan'. Saya bilang, 'Biarlah orang mau ngomongin kita apa, kita terima saja.'"
"Berat sekali mendengar orang mencibir kita, mau mencari kerjaan pun malu. Sekarang saya cuma bertopang pada bapak. Saya cuma bisa cari rebung dan sayur di hutan," tuturnya.
Masih ada pengantin pesanan yang belum dapat dipulangkan dari China
Pengantin pesanan untuk laki-laki China bukan persoalan endemik di Indonesia. Perempuan yang 'dinikahkan' agen perkawinan berasal dari sejumlah negara, antara lain Myanmar, Vietnam, bahkan Pakistan.
Simpul perdagangan orang ini diyakini muncul karena saat ini jumlah laki-laki di China lebih banyak ketimbang perempuan. Fakta ini disebut merupakan konsekuensi regulasi satu anak satu keluarga yang dikeluarkan pemerintah China sejak 1979.
Penduduk laki-laki di kawasaan pedesaan China kesulitan mendapat jodoh atau menikah. Jasa pencarian jodoh di luar negeri pun lantas berkembang.
Dalam konteks Indonesia, praktik ini berpotensi melanggar UU 21/2007 tentang tindak pidana perdagangan orang.
Kejahatan itu didefinisikan sebagai merekrut, mengangkut, menampung, atau mengirim seseorang dengan ancaman, kekerasan, pemalsuan, dan penipuan dengan tujuan atau berakibat eksploitasi.
Seseorang yang membawa warga Indonesia ke luar negeri dengan maksud mengeksploitasi diancam penjara paling lama 15 tahun dan denda maksimal Rp600 juta.
Sejak April 2019 hingga November lalu, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menjalin komunikasi dengan sekitar 13 perempuan Kalimantan Barat yang terjebak kasus pengantin pesanan. Sebagian dari mereka, salah satunya Merry, dapat mereka bantu pulangkan. Sisanya masih berada di China.
Karena tak pernah ada data resmi perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki China melalui sindikat pengantin pesanan, SBMI menaksir jumlahnya jauh lebih besar.
Juliana, salah satu pengurus SBMI, menyebut ekonomi merupakan faktor utama yang mendorong para korban masuk jeratan sindikat perdagangan orang ini.
Selain itu, kata Juliana, pendidikan dan akses informasi yang rendah juga melanggengkan bisnis gelap pengantin pesanan.
"Ini faktor ekonomi. Mereka ingin mengubah hidup keluarga, dari petani pindah ke kota. Ditawari apapun oleh comblang, diimingi uang pasti mereka tergiur, walaupun mas kawin hanya Rp25 juta."
"Korban rata-rata tinggal di desa. Comblang datang, ada tawaran, mereka langsung mengiyakan," kata Juliana.
Merujuk data Badan Pusat Statistik per Maret 2019, Kalimantan Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di pulau Kalimantan. Angkanya mencapai 269 ribu orang atau 7,37%.
Orang miskin dalam data BPS itu adalah mereka yang pengeluaran per kapitanya kurang dari Rp269 ribu per bulan.