Suara.com - Polri gencar mengampanyekan identitasnya sebagai lembaga yang profesional, modern, dan terpercaya alias promoter. Namun, pengakuan Luthfi Alfiandi menghujam jargon muluk tersebut.
DEDE LUTHFI ALFIANDI, pemuda berusia 20 tahun, terdakwa kasus melawan aparat kepolisian saat aksi pelajar menolak RKUHP di depan Gedung DPR RI, mengaku dianiaya oleh penyidik Polres Jakarta Barat.
Luthfi mengakui disuruh duduk, kemudian disetrum oleh penyidik. Penyiksaan itu dilakukan selama 30 menit.
Penyetruman dihentikan setelah Lutfhi akhirnya terpaksa mengakui melempar batu ke arah polisi saat mengikuti aksi massa pelajar anti RUU KUHP di sekitar gedung DPR tahun lalu.
Baca Juga: Luthfi Ngaku Disetrum Penyidik Polisi, AII: Usut Tuntas
Alumnus STM itu membongkar semua penyiksaan terhadap dirinya saat hadir dalam persidangan kasusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1) awal pekan ini.
Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, tindakan penyiksaan yang dilakukan polisi dalam mengintrogasi Lutfi dengan dalih dan alasan apa pun tak dapat dibenarkan. Faktanya kasus serupa kerap terjadi.
“Metode-metode seperti itu acap kali digunakan oleh polisi. Secara prinsip itu tak bisa dibenarkan untuk semua jenis kejahatan,” kata Gufron kepada Suara.com, Rabu (22/1/2020).
Padahal, dalam proses penegakan hukum, polisi harus mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkap) tentang Hak Asasi Manusia. Aparat yang melenceng dari Perkap HAM adalah pelanggaran.
Dia menambahkan, cara-cara lama seperti zaman Orde Baru itu seharusnya tidak lagi dibolehkan terjadi dalam penegakan hukum.
Baca Juga: Amnesty Internasional Kecam Perlakuan Polisi Kepada Luthfi Pembawa Bendera
“Penggunaan praktik penyiksaan juga masih terjadi di beberapa negara, apalagi di Indonesia sistem pengawasan yang minim, dan akuntabilitas lemah. Ini tantangan begi kepolisian untuk melakukan perubahan di institusi mereka,” ujarnya.
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyayangkan tindakan penyiksaan terhadap Lutfi saat diinterogasi.
Padahal, pemerintah telah meratifikasi konvensi antipenyiksaan, yang seharusnya diikuti oleh aparat kepolisian sebagai alat negara.
“Yang pertama, Indonesia sudah meratifikasi konvensi anti penyiksaan, sebagai negara hukum itu harus dipatuhi,” kata Beka.
Dia menuturkan, ketika aparat kepolisian menangkap massa aksi pelajar dan mahasiswa yang demonstrasi di gedung DPR beberapa waktu lalu, pihaknya telah berkoordinasi dengan Polda Metro Jaya.
Komnas HAM memastikan agar penanganan terhadap para pelajar dan mamasiswa yang ditangkap sesuai ketentuan dan prosedur hukum.
Saat dimintakan keterangan oleh Komnas HAM ketika itu, Polda Metro Jaya mengaku penanganannya sudah sesuai ketentuan.
“Mereka bilang tidak ada prosedur yang dilanggar, tidak ada penyiksaan dan tidak ada yang bermasalah secara kesehatan ketika itu. Mengenai kesaksian Lutfi di persidangan ini, kami akan meminta keterangan dan konfirmasi kembali kepada teman-teman kepolisian,” kata dia.
Kalau nanti polisi yang mengintrogasi Lutfi terbukti melakukan penyiksaan, maka pelakunya harus diproses. Bisa dimulai dari proses disiplin dan etik melalui Propam Polri, hingga proses hukum.
“Kalau memang terbukti penyiksaan, pelakunya harus diberi sanksi. Ke depannya polisi harus perbaiki kinerjanya. Bukan hanya bagian kinerjanya yang perlu mereka pahami, tetapi harus mengedepankan HAM dalam kerja-kerja penegakan hukum,” jelasnya.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus enggan merespons soal pengakuan Luthfi.
Yusri tak mau menanggapi lantaran mengklaim belum menerima informasi soal pengakuan Luthfi yang diungkapkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Belum dengar saya, kalau saya sudah dengar, saya kasih tahu ya," kata Yusri, Selasa (21/1/2020).
Namun, Yusri mengakui bakal mengecek kebenaran keterangan Luthfi. "Saya belum tahu, saya cek dulu, kalau saya cek sudah dapat saya kasih tahu.”
***
Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin, Lutfi mengaku dianiaya oleh penyidik Polres Jakarta Barat. Ia disetrum oleh penyidik sekitar 30 menit agar mengaku melempar batu ke arah polisi saat ikut aksi massa.
"Saya disuruh duduk, terus di-setrum, ada setengah jam lah. Saya disuruh mengaku melempar batu ke petugas, padahal saya tidak melempar," kata Luthfi.
Ketika itu, Luthfi mengaku dalam kondisi tertekan sehingga akhirnya terpaksa mengaku melempar batu ke arah aparat kepolisian meskipun tidak dilakukannya.
"Saya saat itu tertekan, makanya saya bilang akhirnya saya lempar batu. Saat itu kuping saya dijepit, disetrum, disuruh jongkok juga," ujarnya.
Luthfi mengatakan, penganiayaan yang dilakukan oleh penyidik Polres Jakarta Barat itu akhirnya berhenti setelah mereka mengetahui dirinya merupakan pelajar yang terekam dalam foto tengah membawa bendera Merah Putih saat demo di DPR RI dan viral di media sosial.
Penyidik tersebut mengetahui itu setelah menanyakan langsung kepada Luthfi.
"Polisi nanya, apakah benar saya yang fotonya viral. Terus pas saya jawab benar, lalu mereka berhenti menyiksa saya," katanya.
Saya nasionalis
Luthfi dalam persidangan juga mengaku sengaja membawa bendera Merah Putih dari rumah. Luthfi membawa bendera Merah Putih guna menumbuhkan rasa nasionalisme.
"Punya (saya) dapat dari rumah," kata Luthfi saat ditanya Ketua Majelis Hakim Bintang Al.
Majelis hakim Bintang pun sempat mempertanyakan alasan Luthfi membawa bendera Merah Putih saat ikut aksi demo pelajar menolak RKUHP di depan Gedung DPR RI.
Luthfi menjawab alasan dirinya membawa bendera Merah Putih guna menumbuhkan rasa nasionalisme.
"Karena saya warga Indonesia, menumbuhkan jiwa nasionalisme."
Menurut Luthfi, massa aksi lain juga banyak yang membawa bendera Merah Putih saat aksi menolak RKUHP.
Luthfi mengakui sempat membentang bendera Merah Putih saat ikut aksi pada akhir September 2019 lalu itu.
"Saya bentangkan di depan, saat kena gas air mata, saya langsung balikkan benderanya ke belakang," katanya.
Dalam sidang sebelumnya, dua ahli pidana Azmi Syahputra dari Universitas Bung Karno dan Suparji Ahmad dari Universitas Al-Azhar menilai Luthfi tidak perlu dipenjara dengan alasan pemuda itu sudah menjalani sanksi sosial dan hukuman tidak harus berujung dengan sanksi penjara.
Dalam kasus ini, jaksa melayangkan tiga dakwaan alternatif kepada Luthfi, yaitu Pasal 212 jo Pasal 214 ayat (1) KUHP, Pasal 170 KUHP, serta Pasal 218 KUHP.
Tak layak dipenjara
Dua ahli hukum pidana menjadi saksi ahli dalam sidang lanjutan terdakwa Dede Luthfi Alfiandi (20), pemuda yang membawa bendera Merah Putih saat melakukan aksi demo pelajar di depan DPR RI September 2019.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (15/1/2020) siang itu, dua ahli pidana yang hadir sebagai saksi adalah Azmi Syahputra dosen Universitas Bung Karno dan Suparji Ahmad dari Universitas Al Azhar.
Saksi Ahli Azmi menilai, rentetan proses hukum yang dijalani Luthfi sejak penangkapan hingga kekinian sudah cukup untuk memberikan efek jera kalau memang pemuda itu dianggap melanggar hukum.
"Apa yang dilakukan oleh terdakwa sudah jera, secara media sosial sudah viral, hari ini sudah menjalankan penahanan. Saya kira sudah dia jalankan proses sidangnya, sanksi sosial sudah. Saya kira itu cukup untuk mengatakan kata jera," kata Azmi dalam persidangan.
Sementara saksi Suparji mengatakan, sanksi pidana kurungan penjara bukan satu-satunya pilihan bagi hakim untuk menegakkan hukum, termasuk terhadap Luthfi yang notabene masih berusia muda.
"Maka demikian dalam perkembangannya, konsep pemenjaraan itu bukan sebuah konsep pilihan. Apalagi mengingat kapasitas lembaga pemasyarakatan yang kapasitasnya berlebihan. Masih ada alternatif lain," kata Suparji.
Dalam sidang sebelumnya, Rabu (18/12/2019), Luthfi telah menjalani sidang pemeriksaan saksi dari pihak termohon yakni lima orang anggota kepolisian.
Kelima saksi tersebut antara lain Raden M Bahrun dan Hendra (Anggota Polres Jakbar), Hendar Kelana, Dwi Susanto, Dimas S (Satreskrim Polres Jakpus).
Dalam kasus ini, Luthfi tidak akan mengajukan eksepsi dan menginginkan pemeriksaan segera dilakukan oleh majelis hakim.
Ada tiga dakwaan alternatif yang didakwakan kepada Luthfi yaitu pasal 212 jo 214 ayat (1) KUHP, pasal 170 KUHP, serta pasal 218 KUHP.