Suara.com - Jaksa penuntut umum (JPU) menolak eksepsi yang diajukan kuasa hukum enam tahanan politik Papua dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
JPU beralasan menolak eksepsi guna menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Permana, salah satu anggota JPU mengklaim penuntutan terhadap terdakwa kasus makar atau pemufakatan jahat terkait pengibaran bendera Bintang Kejora di depan Istana Negara sebagai upaya menjaga keutuhan NKRI.
"Segala bentuk terorisme, separatisme dan upaya lainnya yang merongrong kewibawaan dan keutuhan NKRI harus ditindak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun, berkedok kebebasan penyampaian pendapat sebagai bentuk Hak Asasi Manusia," kata Permana dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (20/1/2020).
Baca Juga: Papua Melawan! 2 Terdakwa Pengibar Bintang Kejora Tetap Berkoteka di Sidang
Adapun enam terdakwa itu adalah Ariana Elopere, Dano Anes Tabuni, Suryanta Anta Ginting, Ambrosius Mulait, Charles Kossay dan Issay Wenda.
Jaksa mengemukakan bahwa berdasar Pasal 28E UUD 1945 salah satu bentuk hak asasi manusia ialah hak untuk kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun, menurutnya, hak tersebut sifatnya dapat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, hak asasi orang lain maupun kemanan dan ketertiban umum suatu negara.
"Hak asasi semacam ini disebut dengan derogable rights. Pembatasan hak asasi tersebut diatur pula dalam ketentuan Pasal 28J UUD 1945," kata dia.
Sementara itu, kuasa hukum enam tapol Papua Oky Wiratama mengaku aneh atas alasan JPU menolak eksepsi yang diajukannya.
Apalagi, Oky mengungkapkan bahwa aksi unjuk rasa yang dilakukan para terdakwa guna menyikapi isu rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya itu dilakukan secara damai dan telah didahului dengan memberikan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian.
Baca Juga: Kasus Bendera Bintang Kejora, Surya Anta Cs Didakwa Pasal Makar
"Menurut saya ini sangat aneh. Justru karena kebebasan berpendapat itu ada di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, yang dilakukan oleh enam tahanan politik ini, mereka menyampaikan surat pemberitahuan aksi ke Polda Metro Jaya," kata Oky.