Suara.com - Sudah dua kali KPK melakukan operasi tangkap tangan pada era kepemimpinan polisi aktif berpangkat komisaris jenderal bernama Firli Bahuri. Namun, “keangkeran” KPK saat memburu koruptor Justru dianggap berakhir.
Komisi Pemberantasan Korupsi batal memeriksa ruangan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam pengembangan kasus suap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Dalam kasus suap Wahyu Setiawan, staf Hasto yakni Saeful Bahri turut ditangkap KPK pada OTT tanggal 8 januari 2020. Kekinian, Wahyu bersama politikus PDI Perjuangan Harun Masiku telah ditetapkan sebagai tersangka.
Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saeful Hidayat membenarkan upaya penggeledahan ruangan Hasto, namun ditolak lantaran para penyidik KPK disebut tak dilengkapi surat tugas. Hal ini menunjukan KPK tak kuasa berhadapan dengan partai politik pemenang pemilu tersebut.
Baca Juga: Politisi Demokrat: Ada yang Janggal Soal Posisi Harun Masiku Saat OTT KPK
Eks Ketua KPK Abraham Samad menilai, batalnya KPK melakukan penggeledahan di kantor DPP PDI Perjuangan dalam kasus suap Komisioner KPU Wahyu Setiawan merupakan bentuk kegagalan. Menurutnya, itu bukti berakhirnya kejayaan KPK.
Hal itu disampaikan oleh Abraham saat menjadi pembicara dalam acara Mata Najwa bertajuk Menakar Nyali KPK di TransTV pada Rabu (15/1/2020) malam.
Abraham menyebut, kejayaan KPK yang sempat disampaikan oleh Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatarongan Pangabean kini hanya tinggal kenangan.
"Jadi tadi KPK yang opung (sebutan untuk Tumpak) cerita itu, kejayaan KPK tinggal sejarah. Tinggal kita kenang saja. Begitu undang-undang revisi baru diundangkan sudah selesai KPK itu," kata Abraham Samad dikutip Suara.com.
Abraham membandingkan kondisi KPK saat ini dengan KPK saat ia pimpin. Kala itu, ia memerintahkan timnya untuk memeriksa sejumlah kantor partai politik terkait kasus korupsi dan itu merupakan hal yang biasa.
Baca Juga: Megawati Disuruh Tugaskan Anak Buahnya Hardik KPK Lewat Dewan Pengawas
"Proses penggeledahan di suatu kantor partai politik itu adalah hal yang biasa," ujar dia.
Kantor partai politik tak ada bedanya dengan kantor lainnya. Dahulu, Abraham sempat memerintahkan tim penyidik untuk memeriksa kantor partai PKS, Demokrat hingga PPP.
Ketika itu, undang-undang yang menaungi KPK sangat mendukung kerja lembaga antirasuah tersebut dalam melakukan tugas. Namun beda halnya dengan saat ini setelah Undang Undang direvisi, KPK seperti telah mati.
"Makanya saya menganggap hari ini menjadi polemik dan luar biasa karena ini buah dari produk undang undang KPK hasil revisi," terangnya.
Abraham menilai revisi Undang Undang KPK lah yang membuat kerja KPK menjadi lemah hingga mati. Pelemahan kinerja KPK telah terbukti dalam kasus Wahyu saat ini.
"Begitu undang undang revisi baru diundangkan sudah selesai KPK. Buktinya kita bisa lihat apa yang terjadi sekarang," tuturnya.
Sementara itu, politikus partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menilai KPK tak berkutik dengan PDIP dalam kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan yang diduga melibatkan Sekjen PDIP, Hasto Kristyanto.
Melalui akun Twitter Ferdinand @ferdinandhaean2, ia menilai KPK telah gagal dalam menjalankan tugas dan tak mampu berbuat banyak saat berhadapan dengan PDIPyang notabene menjadi partai pemenang Pemilu 2019.
"Nah kan! Berarti @KPK_RI gagal melaksanakan misinya dan tak berkutik kepada partai penguasa," kata Ferdinand seperti dikutip Suara.com, Jumat (10/1/2020).
Ferdinand menduga bila Hasto juga turut terlibat dalam kasus suap memuluskan langkah Harus Masiku menjadi anggota DPR RI Pengganti Antarwaktu (PAW) 2019-2024.
"Hmmm Aromanya kuat dugaan terlibat ya?" ungkap Ferdinand.
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond J Mahesa mengkritik gagalnya KPK menggeledah ruangan Sekjen PDIP.
Belum adanya izin dari Dewan Pengawas tidak bisa dijadikan alasan penyebab gagalnya penggeledahan.
"Persoalannya karena birokrasi atau memang siapapun tidak mampu menggeledah institusi partai ini karena mereka berkuasa," ujar Desmond di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/1) lalu.
Menurut dia gagalnya tim KPK menggeledah DPP PDIP menjadi bukti KPK lemah. "Hari ini UU KPK dilemahkan. Apa yang terjadi hari ini membuktikan bahwa KPK dilemahkan," terangnya.
Dia menambahkan, perlu keberanian pimpinan KPK yang baru untuk membuktikan pada publik bahwa KPK tetap bertaring dan tidak dilemahkan.
"Bagaimana komisioner dan dewas membuktikan ini. Kalau contoh seperti ini (penggeledahan) tidak terselesaikan, makin betul bahwa jangan berharap lagi dengan KPK," kata dia.
***
PENELITI Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadan menilai penyidik KPK batal menggeledah ruangan Sekjen PDIP itu bentuk implementasi dari UU KPK No 19 Tahun 2019.
Ada dua peristiwa penting yang menjadi bukti KPK lemah dalam operasi tangkap tangan (OTT) kasus dugaan suap Wahyu Setiawan.
Pertama, KPK terlambat melakukan penggeledahan kantor DPP PDIP. Hal itu disebabkan penggeledahan harus seizin dewan pengawas yang diatur dalam pasal 37 B ayat 1 UU KPK yang baru.
Padahal dalam UU KPK yang lama, penggeledahan yang bersifat mendesak tidak perlu izin kepada siapapun. Dengan menunggu izin untuk penggeledahan, tentu pelaku korupsi akan menghilangkan barang bukti.
Kedua, peristiwa penyidik KPK dihalang-halangi oleh saat hendak melakukan penggeledahan di kantor DPP PDIP.
Padahal menghalang-halangi proses hukum dapat diancam hukuman pidana penjara 12 tahun sesuai yang diatur Pasal 21 UU 31/1999 jo UU NO 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Atas kondisi itu dapat disimpulkan narasi penguatan yang digaungkan Presiden dan DPR hanya bualan. Sebab berlakunya UU KPK yang direvisi justru mempersulit penegakan hukum yang dilakukan KPK,” kata Kurnia.
Oleh karena itu, ia mendesak Presiden Jokowi untuk bertanggung jawab atas kondisi KPK saat ini. Presiden harus menyelamatkan KPK dengan menerbitkan Perppu. Sementara itu, KPK harus berani memproses secara hokum pihak-pihak yang menghalang-halangi proses penanganan perkara.
“KPK harus berani menerapkan aturan obstruction of justice terhadap pihak-pihak yang menghalang-halangi proses hokum,” tegasnya.
KPK pada Kamis (9/1/2020) telah mengumumkan empat tersangka terkait tindak pidana korupsi suap penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024. Sebagai penerima, yakni Wahyu Setiawan (WSE) dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF).
Sedangkan sebagai pemberi kader PDIP Harun Masiku (HAR) dan Saeful (SAE) dari unsur swasta atau staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dapil Sumatera Selatan I menggantikan caleg DPR terpilih dari Fraksi PDIP dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp 600 juta.