Suara.com - Jaksa penuntut umum pada KPK membeberkan landasan hukum untuk melayangkan peninjauan kembali (PK) terkait kasus dugaan korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) atas nama Syafruddin Arsyad Temenggung.
Pengajuan PK itu dilakukan setelah Syafruddin dibebaskan lewat putusan sidang kasasi di Mahkamah Agung.
Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, PK ini diajukan karena adanya kekeliruan dari MA dalam memutus perkara Syafruddin.
"Upaya hukum luar biasa dan terakhir untuk menemukan keadilan materiil dimaksudkan untuk mengoreksi keputusan yang keliru," kata Jaksa Haerudin di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (9/1/2020).
Baca Juga: Ketua KPK Peringatkan Kepala Daerah Jangan Coba-coba Korupsi
Jaksa Haerudin menduga anggota majelis hakim melanggar prinsip imparsialitas dalam memutus perkara. Kemudian, terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan.
Haeruddin mengaku jaksa menemukan adanya percapakan komunikasi antara salah satu anggota majelis hakim dengan pengacara Syarifuddin, Ahmad Yani. Hal itu terungkap berdasarkan Surat Kuasa No. 01/TPH-SAT/SK/I-2019 pada 10 Januari 2019.
"Berdasarkan (call data record) terdapat beberapa kali komunikasi antara hakim ad hoc Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani, selaku penasihat hukum terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Haeruddin.
Selanjutnya, alasan pengajuan upaya hukum luar biasa ini dilakukan diduga terdapat kontradiksi antara pertimbangan dengan putusan. Maka itu, jadi landasan KPK melakukan PK.
"Amar putusan majelis hakim menyatakan, perbuatan terdakwa terbukti sebagaimana surat dakwaan penuntut umum, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Hal ini bertentangan dengan pertimbangan putusan perkara a quo," kata Jaksa.
Baca Juga: KPK Datangi Kantor PDIP Mau Geledah Ruangannya? Ini Kata Hasto
Sementara itu, kuasa hukum Syafruddin sebagai pihak termohon, menilai upaya hukum liar biasa yang dilakukan KPK tidak dapat diterima. Lantaran hak tersebut hanya bisa dilakukan oleh pihak terdakwa.
"Selaku pemohon PK tidak diterima atau ditolak, dalam kesempatan pertama, karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak punya kedudukan hukum, tidak memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagiamana pasal 263 KUHAP, dimana yang bisa mengajukan PK adalah terdakwa," kata Hasbullah.
Maka itu, Hasbullah meminta majelis hakim menolak PK yang diajukan Jaksa KPK.
"Kami mohon majelis hakim harus tidak diterima dan ditolak pada kesempatan pertama, pada kesempatan ini karena pemohon tidak punya kewenangan hukum," kata Hasbullah.
Diketahui, Syafruddin dibebaskan dari penjara setelah kasasi yang diajukannya dikabulkan MA. Putusan bebas Syafruddin menggugurkan putusan Pengadilan Tinggi DKI yang menambah hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Namun, putusan bebas Syafruddin diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) antar majelis hakim.
Hakim Ketua Salman Luthan menyatakan sependapat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI yang menambah hukuman Syafruddin menjadi 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan.
Sementara, Hakim Anggota Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan Hakim Anggota M Askin menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.