Suara.com - Media-media massa di Indonesia kembali dikritik. Pemberitaan kasus Reynhard Sinaga dinilai melenceng, karena berkecenderungan menyalahkan orientasi seksual ketimbang perilaku kriminalnya.
Reynhard Sinaga, mahasiswa asal Indonesia dihukum seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris, awal pekan ini.
Ia divonis bersalah melakukan 159 serangan secara seksual, termasuk di dalamnya 136 perkosaan, 8 percobaan rudapaksa, serta 15 pencabulan (indecent assault) terhadap 48 orang di Inggris.
Semua korbannya adalah lelaki yang rata-rata berusia remaja. Oleh hakim, ini disebut sebagai kasus pemerkosaan terbesar dalam sejarah Inggris.
Baca Juga: Media - Media Indonesia Dikritik karena Berita Melenceng Reynhard Sinaga
Selain menjadi sorotan media internasional, kasus Reynhard juga menyita perhatian media massa maupun lalu lintas percakapan media sosial dalam negeri.
Namun, pemberitaan media online di Indonesia dinilai menimbulkan miskonsepsi dan disinformasi karena berisi materi yang tidak berkaitan dengan kasus kekerasan seksual Reynhard Sinaga.
Bahkan, beragam pemberitaan yang melenceng tersebut melahirkan stigma baru terhadap kelompok-kelompok tertentu, khususnya kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender karena membeberkan latar belakang pelaku.
Miskonsepsi dan disinformasi itu tampak dari maraknya pemberitaan media di Tanah Air yang menelusuri dan mengungkap identitas keluarga Reynhard. Misalnya pemberitaan yang mengulik sosok ibu, ayah dan saudara pelaku.
Ada pula pemberitaan yang sampai menelusuri rumah, serta almamater Reyhard seperti mewawancarai guru guru Reynhard semasa duduk di bangku SMP dan SMA di Depok, Jawa Barat.
Baca Juga: CEK FAKTA: Reynhard Sinaga Dipulangkan Indonesia, Benarkah?
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (Kompaks) berpendapat, pemberitaan media online itu telah terlalu jauh melenceng. Bahkan pemberitaan itu dapat membangun stigma baru terhadap kelompok LBGT.
Kendati begitu, Kompaks mendukung upaya penegakan hukum kasus kekerasan seksual apapun jenis kelamin, orientasi seksual, dan identitas gender pelaku maupun korban.
Kekerasan seksual bisa dilakukan oleh dan kepada siapa pun tanpa memandang kelas, tingkat pendidikan, agama, umur, jenis kelamin, dan orientasi seksual.
Kekerasan seksual berupa perkosaan, percobaan perkosaan, pencabulan, dan serangan seksual lain yang dilakukan oleh Reynhard merupakan suatu bentuk kekejian dan tindak kriminal.
“Kami mendukung hukuman berat terhadap Reynhard setimpal dengan perbuatannya. Namun, kami meminta agar media fokus pada kekerasan seksualnya, jangan sampai melebar. Karena pemberitaan diberbagai media sekarang menimbulkan miskonsepsi dan disinformasi,” kata Ricky Gunawan, Direktur Eksekutif LBH Masyarakat kepada Suara.com, Rabu (8/1/2020).
Dia menjelaskan, berdasarkan Naskah Akdemik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU KS) disebutkan bahwa kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang atau tindakan lainnya terhadap tubuh seseorang secara paksa.
Selain itu, juga terkait nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender atau sebab lain.
Sedangkan menyangkut orientasi seksual, Arus Pelangi—organisasi massa advokasi LGBT—menerbitkan Modul Pendidikan Dasar SOGIESC yang menyebutkan bahwa orientasi seksual merupakan ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan emosi, romantis, dan atau seksual.
Ketertarikan manusia baik emosi, romantis, dan atau seksual ini haruslah melibatkan persetujuan yang sebelumnya sudah mendapatkan pemahaman informasi (fully informed) untuk menjalin relasi ataupun hubungan seksual.
“Menyalahkan orientasi seksual untuk tindakan kriminal seseorang adalah suatu upaya membelokkan isu kekerasan seksual ini menjadi suatu kebencian terhadap kelompok rentan LGBT,” kata Ryan Korrbari, Direktur Arus Pelangi.
Dirketur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin mengingatkan, pemberitaan media di Indonesia sebaiknya fokus pada penanganan, pencegahan, dan pemulihan untuk korban kekerasan seksual di Indonesia.
Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini yaitu menggunakan kesempatan korban yang tidak sadarkan diri karena mabuk alkohol untuk melakukan tindak kriminalnya.
“Seharusnya narasi media di Indonesia adalah mengenai hubungan seks di saat tidak berdaya,” ujar dia.
Selain itu, mengingat pemahaman masyarakat Indonesia mengenai sexual consent atau persetujuan seksual belumlah merata, RUU KS perlu didorong untuk disahkan agar masyarakat dapat memahami setiap kekerasan seksual yang terjadi.
Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual juga mendorong dibentuknya layanan pengaduan kekerasan seksual dan disahkannya RUU KS oleh DPR RI.
Hal ini penting sebagai perangkat hukum yang mencegah dan menangani kekerasan seksual serta memberikan pemulihan pada korban.
Dia menambahkan, patut untuk dicontoh dari Universitas Manchester, tempat Reynhard mengambil gelar S2-nya di Inggris, yakni adanya layanan pengaduan melalui telepon yang menawarkan dukungan untuk korban kekerasan seksual ataupun bagi mereka yang terdampak.
Selain itu, setiap civitas academica yang merasa telah menjadi korban dari Reynhard Sinaga dapat melaporkan kasusnya melalui layanan pengaduan tersebut.
Sedangkan di Indonesia sendiri, kekerasan seksual yang lebih banyak terjadi kepada perempuan dalam lingkungan kampus, seperti kasus Agni di UGM ataupun kasus SS di UI, saat ini masih mandek sampai pengadilan.
Kasus Reynhard Sinaga yang terjadi di Inggris dapat menemui titik terang dikarenakan adanya hukum yang mengakomodir penanganan kasus kekerasan seksual.
Sedangkan di Indonesia, pemberitaan di media mengenai kasus kekerasan seksual pada umumnya cenderung menyalahkan korban (victim blaming), intimidasi, sampai dengan impunitas pelaku.
Berdasarkan data Komnas Perempuan dalam Catatan Akhir Tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia mencapai 406.178 kasus di tahun 2018, meningkat 14 persen dari tahun sebelumnya 348.446 kasus.
Jumlah tersebut kian meningkat dikarenakan adanya kekosongan hukum atas penanganan kekerasan seksual.
“Seharusnya kasus Reynhard Sinaga dapat menjadi pembelajaran, dan data Komnas Perempuan ini dapat mendorong pengesahan RUU KS yang berfokus pada penanganan kasus kekerasan seksual dan pemulihan korban, tanpa sekat-sekat biner,” kata Ade.
Lembaga yang tergabung dalam Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual itu adalah YLBHI, SGRC Indonesia, LBH Jakarta, LBH Masyarakat dan LBH Pers.
Kemudian Arus Pelangi, PKBI, YPII, STFT Jakarta, Sanggar Swara, SEJUK, KontraS, HRWG, PurpleCode Collective, LBH Apik Jakarta dan ICJR.