Suara.com - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi terkait kasus suap dan gratifikasi perkara di MA tahun 2011-2016.
Kali ini, KPK tak memeriksa Nurhadi sebagai tersangka, melainkan sebagai saksi untuk Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal, Hiendra Soenjoto, yang menjadi tersangka dalam kasus yang sama.
"Kami periksa Nurhadi dalam kapasitas saksi untuk tersangka HS (Hiendra Soenjoto)," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dikonfirmasi wartawan, Selasa (7/1/2020).
Selain Nurhadi, KPK juga turut memeriksa Rezky Herbiyono yang merupakan menantu Nurhadi. Meski sudah menyandang status tersangka, KPK memanggil Rezki terkait statusnya sebagai saksi untuk Heindra.
Baca Juga: Jika RS Curang Gunakan Klaim, BPJS Kesehatan Gandeng Kemenkes dan KPK
Namun, Ali tak menjelaskan, apakah Nurhadi dan menantunya itu bersedia diperiksa dalam kasus ini. Sebab, Nurhadi dan Rezki kompak mangkir dalam agenda pemeriksaan KPK pada Jumat (3/1/2020).
Diketahui, KPK juga belum melakukan penahanan terhadap Nurhadi, Rezki dan Hiendra sejak ketiganya ditetapkan sebagai tersangka pada Senin (16/12/2019) lalu.
Ketiganya pun juga telah dilakukan pencegahan ke luar negeri yang diminta KPK kepada Direktorat Jenderal Imigrasi. Masa berlaku pencegahan Nurhadi bersama dua tersangka lainnya, terhitung mulai 12 Desember 2019 dan berlaku selama 6 bulan ke depan.
Dalam perkara ini, Nurhadi dan menantunya Rezky diduga menerima suap dan gratifikasi dengan total Rp 46 miliar terkait pengurusan perkara di MA tahun 2011-2016. Mertua dan menantu itu diduga menerima uang dari dua pengurusan perkara perdata di MA.
Pertama, melibatkan PT Multicon Indrajaya Terminal melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (Persero). Kemudian, terkait pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT MIT dengan menerima Rp 33,1 miliar.
Baca Juga: Tambahkan Hukuman, Jaksa KPK Minta Hak Politik Romahurmuziy Dicabut
Adapun terkait gratifikasi, tersangka Nurhadi melalui menantunya Rezky dalam rentang Oktober 2014 – Agustus 2016 diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar.
Hal itu terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian.