Suara.com - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berharap pemerintah Indonesia tegas menuntaskan pelanggaran yang dilakukan pemerintah China di perairan Natuna. Meskipun China termasuk ke dalam inevstor terbesar ketiga di Indonesia, namun PBNU berharap Indonesia tidak lembek menjaga wilayahnya sendiri.
Ketua PBNU Said Aqil Siradj memandang tidak perlu ada negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah China yang sudah mengklaim wilayah Zona Ekslusif Indonesia (ZEEI) sebagai miliknya. Karena menurutnya, kedaulatan negara tidak bisa dinegosiasikan dengan hal apapun.
"Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nahdlatul Ulama meminta Pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi," kata Said Aqil melalui keterangan tertulis, Senin (6/1/2020).
"Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat dan di laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun," sambungnya.
Baca Juga: Menko Luhut: Pemerintah Sudah Minta Coast Guard China Pergi dari Natuna
PBNU juga mendesak pemerintah China untuk melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan RI yang telah diakui dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB atau Unclos 1982. Melalui Unclos 1982, kepulauan Natuna masuk ke dalam 200 mil laut ZEEI yang telah diratifikasi sejak 1994.
"Karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima," tuturnya.
Sebagai masukan untuk jangka panjang, PBNU meminta pemerintah Indonesia agar bisa memprioritaskan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik.
Said Aqil juga menyebut kalau kedudukan laut amat strategis sebagai basis pertahanan.
"Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan," katanya.
Baca Juga: Pemerintah Beri Jaminan Keamanan Pada Nelayan yang Dikirim ke Natuna