Suara.com - Menteri Pertanahan Prabowo Subianto akhirnya angkat bicara soal pelanggaran puluhan kapal nelayan serta dua kapal patroli China yang masuk ke Laut Natuna, Kepulauan Riau, serta klaim negara tersebut atas kedaulatan di sana.
Kedua hal tersebut membuat terjadinya ketegangan diplomatik antara Indonesia dan China.
Saat menyambangi kantor Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Jumat (3/1/2020), Prabowo mengatakan hal tersebut bisa diselesaikan secara baik-baik.
"Saya berkoordinasi dengan menteri-menteri koordinator. Kerja sama harus baik. (Soal Natuna) di antara persoalan yang banyak kami bahas," kata Prabowo.
Baca Juga: Kapal China Masuk Laut Natuna, TNI Lancarkan Operasi Siap Tempur
Menurut Prabowo, pemerintah tak perlu memakai kekerasan menghadapi persoalan klaim China atas Natuna.
Prabowo justru mengedepankan perundingan yang baik agar tak memecah persahabatan kedua negara.
"Kita selesaikan dengan baik ya, bagaimanapun China negara sahabat," ucap dia.
Di tempat yang sama, Luhut meminta semua pihak tak terlalu membesar-besarkan permasalahan yang terjadi.
Menurutnya, masuknya kapal asing tersebut karena memang kemampuan kapal Indonesia belum bisa menjaga perairan dalam negeri.
Baca Juga: Ngotot Tak Salah, Mahfud MD: China Tak Punya Hak Mengklaim soal Natuna
"Sekarang memang coast guard kita atau bakamla itu sedang diproses, supaya menjadi betul-betul penjaga yang benar, nah sekaligus dengan peralatannya. Jadi ya kalau kita enggak hadir, kan orang hadir ke tempat kita. Jadi kita paling marah sama diri kita sendiri. Kapal belum cukup," kata dia.
Klaim China
Indonesia memprotes Republik Rakyat China yang melanggar ketentuan zona ekonomi eksklusif di perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Protes itu dilayangkan setelah puluhan perahu nelayan, termasuk dua kapal penjaga pantai China memasuki wilayah Natuna belum lama ini.
Namun, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RRC Geng Shuang membantah hal tersebut sembari menegaskan klaim mereka berhak berada di perairan Natuna.
"Posisi dan proposisi China mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS (Konvensi AS tentang Hukum Laut)," katanya dalam konferensi pers di Beijing, Kamis (2/1/2020).
“Jadi apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak,fakta objektif bahwa Tiongkok memilik hak dan kepentingan atas perairan yang relevan tidak bakal berubah,” tegas Geng Shuang seperti dikutip dari Radio Free Asia.
Ia juga mengecam Indonesia yang menggunakan putusan pengadilan aribtrase Laut Cina Selatan untuk mengklaim kedaulatan perairan Natuna.
“Apa yang disebut putusan arbitrase Laut Cina Selatan adalah ilegal, batal, dan tidak berlaku dan kami telah lama menegaskan, Tiongkok tidak menerima atau mengakuinya.”
“China tegas menentang negara, organisasi atau individu mana pun yang menggunakan putusan arbitrase yang tidak sah untuk melukai kepentingan China,” katanya lagi.
Pada 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag memutuskan mendukung Filipina dalam pengaduannya terhadap Tiongkok, dengan mengatakan tidak ada dasar hukum bagi Beijing untuk mengklaim hak historis di laut.
Beijing menolak keputusan itu dan meluncurkan bangunan besar-besaran di wilayah lautan yang dikontrolnya.
Pada hari Senin (30/12/2019), pejabat Indonesia memanggil Duta Besar Tiongkok Xiao Qian dan mengajukan protes ke Beijing setelah mengonfirmasikan 63 kapal penangkap ikan Tiongkok dan dua kapal penjaga pantai berlayar ke perairan teritorial Jakarta di pulau Natuna sejak 19 Desember.
Keesokan harinya, ketika ia menanggapi kritik awal dari Indonesia, Geng mengatakan pada konferensi pers bahwa China memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha (Spratly Islands)—nama Cina untuk kepulauan yang disengketakan di Laut Cina Selatan dan dekat Natuna.
“Kami memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas perairan yang relevan di dekat Kepulauan Nansha."
"China memiliki hak historis di Laut Cina Selatan dan nelayan Tiongkok telah lama terlibat dalam kegiatan perikanan legal dan sah di perairan dekat pulau-pulau itu,” kata Geng.
Soal penjaga pantai China ikut masuk ke perairan Natuna, Geng mengatakan "Mereka sedang melakukan tugas, yakni patroli rutin.”
Pada hari Rabu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengeluarkan pernyataan yang menolak klaim historis Tiongkok atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE).
Alasan Indonesia, nelayan Tiongkok telah lama aktif di perairan tersebut. Klaim-klaim itu “unilateral” dan “Tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” kata Kemenlu RI.
"Kami mendesak China untuk menjelaskan dasar hukum dan memberikan definisi yang jelas untuk klaimnya atas ZEE Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982," kata pernyataan itu.
Garis Sembilan Demarkasi
China, melalui apa yang disebut Garis Sembilan Dash—demarkasi yang terletak samar-samar di peta—mengklaim sebagian besar Laut Cina Selatan sebagai miliknya.
Sementara Vietnam, Taiwan, Filipina, Malaysia dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih.
Pada tahun 2016, sengketa meletus antara Indonesia dan China setelah Beijing menuduh Angkatan Laut Indonesia menembaki kapal penangkap ikan Tiongkok dan melukai seorang anggota kru saat terjadi kebuntuan di perairan Natuna, daerah yang diklaim Beijing sebagai tempat penambangan tradisional.
Pejabat Indonesia mengatakan, tembakan peringatan terhadap beberapa kapal berbendera Tiongkok diduga melanggar batas, tetapi tidak ada yang terluka.
Pada tahun 2017, Indonesia menegaskan klaimnya terhadap wilayah tersebut di ujung paling selatan Laut Cina Selatan dengan mengganti nama perairan di sekitar pulau-pulau tersebut sebagai Laut Natuna Utara dan membentuk unit militer terpadu dalam rantai tersebut.