Suara.com - Syam, seorang warga Jakarta menceritakan pengalamannya selama menjadi korban banjir sejak tahun 1996. Cerita itu dia sampaikan dalam tulisan di Facebook pada Rabu (1/1/2020).
"1996, Gubernur: Soerjadi Soedirja. Ini banjir gede pertama yang gue alamin selama hidup di Jakarta," kata Syam membuka ceritanya.
Menurut penjelasannya, ketinggian banjir di rumah sekitar 150 sentimeter pada tahun itu. Banjir tahun 1996 adalah banjir terbesar setelah masa Orde Lama.
Selang enam tahun, banjir lebih besar kembali terjadi. Syam kembali menjadi korban.
Baca Juga: Bupati Sleman: Mau Tutup Selokan, Harus Lapor
"2002, Gubernur: Sutiyoso. Kaget, karena banjir tahun ini lebih gede dibanding 1996 dan sempet beberapa kali air masuk ke rumah dalam kurun waktu seminggu. Ketinggian air sampai 2 meteran," ungkapnya.
Era pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo pada tahun 2007, banjir di Jakarta terus bertambah parah. Syam menjelaskan bahwa pada tahun itulah mulai beredar keyakinan banjir bandang 5 tahunan.
"Banjir ini paling parah dari hal ketinggian air, di rumah air 'hanya' mampir 1,5 meter doang, tapi di lantai 2. Dan nyisain lumpur sepinggang orang dewasa," Syam menceritakan.
Siklus banjir bandang 5 tahunan terbukti benar terjadi. Tahun 2012, masih di era Fauzi Bowo, Jakarta kembali dilanda banjir cukup parah.
Rumah Syam menjadi langganan banjir paling parah ketika tahun 2014, di era Gubernur Joko Widodo.
Baca Juga: Berkah Fauzi Nurut dengan Ahok, Kini Bersyukur Tak Dihantui Banjir
"Parah bukan dari ketinggian air tapi parah karena dalam kurun waktu 17 hari, rumah kerendem sampe 21 kali dan di antara durasi itu rumah kerendem sampai 3 Hari 4 Malam. Sore bersih-bersih, malem lagi pules molor langsung kebangun karena air masuk tanpa salam dan hal ini (abis bersih2, masuk lagi air) terjadi sampe 20 kali. Ketinggian air terparah sampe menjelang 3 Meter," ungkapnya.
Kemudian pada tahun 2015-2017 saat Jakarta dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, banjir mulai berkurang dari tahun sebelumnya.
Syam menjelaskan, "Hampir sama dengan banjir 2014 hanya intensitas air masuk ke rumah lebih sedikit, 'hanya' dalam kurun waktu 1,5 pekan air masuk belasan kali."
Ketinggian air banjir pun mulai turun pada tahun itu. Begitu juga di awal pemerintahan Gubernur Anies Baswedan pada 2017.
"2017/2018, Gubernur: Anies Baswedan. Hampir sama dengan banjir edisi sebelumnya dan intensitas jauh lebih kecil dari sebelumnya," kata Syam.
Tahun 2019 ini, Syam mengaku masih memantau banjir yang terjadi. Ia mengaku cukup tenang saat ini asal Bogor tidak hujan dengan intensitas tinggi.
Berdasarkan pengalamannya selama ini, Syam mengatakan, "Siapa pun gubernurnya gak akan bisa nahan banjir kecuali mengatasinya."
Syam merasa semua Gubernur dan jajarannya gagal total dalam penanganan sebelum, saat dan pascabanjir. Cara para Gubernur Jakarta dari tahun 1996 sampai sekarang menurutnya tidak efektif.
"Pemerintah Provinsi DKI lebih memfokuskan bantuan diarahkan ke titik-titik 'famous' seperti Bidara Cina, Kampung Melayu dsk," ujarnya.
Ia meminta pemerintah juga memperhatikan wilayah lain yang sama parahnya terkena banjir. Seperti Condet, Rawa Jati, Rawa Sepat, Cawang.
Syam bahkan mengaku, "Dari jadi korban banjir tahun 1996 gue sama sekali gak ngerasain namanya bantuan dari Pemprov DKI kecuali bantuan dari PMI, Ormas-ormas, anak-anak mahasiswa, para donatur pribadi, kawan-kawan, para kolega, dll."
Warga Jakarta yang langgangan terkena banjir ini juga kesal dengan orang-orang yang hanya bisa berkoar-koar di media sosial dan saling menyalahkan.
"Gua sebagai korban banjir dari tahun ke tahun gak pengen nyalahin siapa pun Gubernurnya," kata Syam yang juga mengaku bukan pendukung fanatik Anies Baswedan.
Ia berharap pihak Pemprov DKI Jakarta bisa lebih perhatian terhadap keluhan korban banjir di daerah lain. Syam juga meminta agar sistem distribusi bantuan lebih baik lagi.