Suara.com - Warna langit perlahan mulai gelap, tanda petang menyongsong malam. Para jemaat mulai berdatangan untuk mengikuti Misa Malam Natal di Gereja St Theresia Menteng, Jakarta Pusat pada Selasa (24/12/2019).
Namun ada sesuatu yang berbeda dalam perayaan Natal di gereja yang dibangun 85 tahun silam. Nampak sejumlah perempuan berhijab tampak memasuki gereja. Kedatangan mereka beriringan dengan sejumlah pria berpeci, total sekitar 20 orang. Mereka merupakan warga lintas agama yang datang untuk menyampaikan ucapan selamat kepada Umat Kristiani yang merayakan Hari Raya Natal. Mereka merupakan perwakilan Agama Islam dari Nahdliyin, Hindu, Budha dan Ahmadiyah.
Kedatangan rombongan warga lintas agama itu disambut hangat Romo Hariyanto yang memimpin misa dan beberapa pengurus gereja di petang itu. Mereka bersama-sama berdiri di mimbar.
Sejurus kemudian, koordinator rombongan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) Sapri Sale mengucapkan selamat Natal kepada para jemaat, kemudian memberikan bunga dan buku berjudul 'Merayakan Kebebasan Beragama' karya Djohan Effendi, Menteri Sekretaris Negara era Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dalam kesempatan tersebut, orang-orang yang berasal dari latar agama berbeda itu pun mengikuti acara Misa sampai selesai.
Baca Juga: Toleransi Natal, Santri Pesantren Main Rebana di Gereja Mater Dei Semarang
Dalam kesempatan tersebut, Romo Hariyanto menyampaikan terima kasih kepada warga lintas agama yang datang mengucapkan Selamat Natal. Ia memberikan pesan agar semangat toleransi terus digelorakan demi menjaga persatuan dan kesatuan. Pun dia menyerukan, warga tidak boleh kalah dengan tindakan-tindakan intoleransi dan ujaran kebencian. Semua manusia adalah makhuk Tuhan.
“Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua, jangan takut membangun persahabatan,” kata Hariyanto.
Bagi Sapri Sale, mengucapkan Selamat Natal kepada Umat Kristiani di tanah air bukan hanya sebagai bentuk toleransi umat beragama. Namun lebih dari itu, ucapan Selamat Natal adalah hak konstitusi Warga Kristiani. Sebab, Kristen dan Katolik adalah agama yang diakui negara seperti termaktub dalam pasal 28 E ayat (2) dan 29 ayat (2) UUD 1945.
Menurutnya, tak ada yang boleh melarang warga memberikan ucapan Selamat Natal kepada Warga Kristiani. Di juga menegaskan, sikap pihak yang melarang menyampaikan ucapan Selamat Natal itu melanggar konstitusi.
“Justru salah kita kalau tidak mengucapkan Selamat Hari Natal. Sebaliknya juga begtu, saya rasa agama lain sudah biasa menyampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri atau hari raya agama lainnya,” katanya.
Baca Juga: Indahnya Toleransi, Gereja Ini Sediakan Musala Bagi Petugas yang Berjaga
Menyampaikan ucapan selamat Natal kepada Warga Kristiani sudah menjadi tradisi Bangsa Indonesia sejak lama. Namun tradisi tersebut dalam waktu belakangan ini seakan-akan hilang. Lantaran itu, Sapri bersama perwakilan warga lintas agama mengajak masyarakat untuk menjaga tradisi dan budaya toleransi. Hidup rukun antartetangga dengan berbagai macam perbedaan dan menghargai itu.
Lagi pula, lanjut dia, larangan mengucapkan Selamat Natal itu masih jadi perdebatan di kalangan ulama. Ada yang melarang dan juga tidak sedikit ulama yang membolehkan sebagai bagian dari hidup toleransi antarsesama.
“Selama ini kan MUI tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang pelarangan itu, artinya sah-sah saja dong kita mengucapkan Selamat Natal,” ucapnya.
Menurutnya prokontra mengucapkan Selamat Natal di sebagian kalangan menunjukkan bangsa Indonesia makin mundur dalam peradaban. Seharusnya Indonesia pada usia tua ini sudah tidak ada lagi permasalahan intoleransi atau diskriminasi terhadap warga yang menjalani ibadah dan kepercayaan atas agamanya.
“Dengan situasi seperti begini kita jadi mundur, seharusnya kita sudah maju,” kata dia.
Dia menambahkan, ICRP sendiri tidak hanya pada saat Natal saja memberikan ucapan selamat peringatan hari raya. Namun juga pada saat hari raya agama lain, seperti Hindu, Budha dan Konghucu.
Bahkan pada awal Februari 2020 mendatang, saat peringatan Hari Raya Imlek, mereka juga datang memberikan ucapan selamat. Pun dalam peringatan Imlek nanti, ICRP akan memberikan bantuan ke sebuah sekolah di Jakarta. Bantuan itu berupa perlengkapan belajar mengajar berteknologi tinggi, berupa komputer, proyektor yang tidak memakai kabel, wifi. Kemudian menampilkan atraksi barongsai dan kegiatan membacakan buku cerita-cerita rakyat.
“Kami akan buat satu kelas yang akan menjadi barometer untuk contoh membuat kelas-kelas berikutnya. Kami akan bangun generasi baru yang lebih maju,” ujarnya.
Larangan Beribadah Saat Natal Melanggar Konstitusi
Baru-baru ini, Umat Kristiani di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat dilarang menggelar ibadah dan Perayaan Natal tahun 2019. Pemerintah setempat berdalih, perayaan Natal dilarang di dua lokasi itu karena tidak dilakukan pada tempat ibadah pada umumnya.
"Mereka tidak mendapatkan izin dari pemerintah setempat kerena perayaan dan ibadah Natal dilakukan di rumah salah satu umat yang telah dipersiapkan. Pemda setempat beralasan karena situasinya tidak kondusif," ujar Badan Pengawas Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Sudarto kepada Covesia—jaringan Suara.com melalui telepon, Selasa pekan lalu.
Menurut Sudarto, pelarangan bagi Umat Kristiani ini untuk merayakan Natal dan Tahun Baru sudah berlangsung sejak tahun 1985. Selama itu pula, umat Nasrani tersebut biasa melakukan ibadah secara diam-diam di salah satu rumah jemaat.
"Mereka sudah beberapa kali mengajukan izin untuk merayakan Natal, namun tak kunjung diberikan izin. Pernah sekali, pada awal tahun 2000, rumah tempat mereka melakukan ibadah kebaktian dibakar karena adanya penolakan dari warga," ungkapnya.
Sudarto menilai larangan tersebut merupakan suatu tindakan melanggar HAM. Sebab, negara sejatinya telah menjamin setiap umat beragama diberikan kebebasan untuk merayakan hari besar agama masing-masing. Saat ini terdapat sekitar 210 kepala keluarga (KK) umat Nasrani di Sungai Tambang, yang terdiri dari 120 KK jemaat HKBP, 60 KK Khatolik dan 30 KK GKII. Selama ini merayakan Natal di geraja daerah Sawahlunto, yang harus menempuh perjalanan sejauh 120 kilometer.
Pemerintah Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat menyatakan secara resmi tidak pernah mengeluarkan larangan terhadap warga untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing masing.
Kabag Humas Pemkab Dharmasraya Budi Waluyo, pada Rabu pekan lalu mengatakan, pihaknya menghargai kesepakatan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung dengan Umat Kristiani yang berasal dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.
"Kedua belah pihak sepakat dengan tidak adanya larangan melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing masing di rumah masing masing. Namun jika harus melaksanakan ibadah yang sifatnya berjemaah atau mendatangkan jemaah dari tempat lain, maka harus dilakukan di tempat ibadah yang resmi."
Pegiat Pusaka Padang, Sudarto dalam keterangan tertulis mengatakan, pernyataan pemkab itu tidak merespons persoalan substantif Umat Kristiani di Dharmasraya. Menurutnya, tidak pernah ada kesepakatan bersama antara pemerintah nagari Sikabau dengan Umat Kristiani seperti yang diklaim pemkab.
Sebab, Pemerintahan Nagari Sikabau sejak 2018 sudah menolak memberikan izin ibadah perayaan Natal. Kalau ada kesepakatan antarwarga, tentu Ketua Stasi umat Katolik setempat, yakni Maradu Lubis, tak mungkin kembali mengajukan permohonan izin ibadah dan perayaan Natal 2019.
“Dan benar, secara tegas Wali Nagari melalui surat bernomor 145/117/Pem-2019 kembali tidak memberikan izin. Bersamaan dengan surat penolakan tersebut, Wali Nagari juga melampirkan surat pernyataan sikap penolakan warga,” ungkapnya.
Kasus tersebut mendapat perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang kemudian meminta Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno untuk memastikan setiap warga negara terpenuhi haknya dalam menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya masing-masing. Pernyataan tersebut sebagai respons terkait pelarangan Umat Kristiani di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmaasraya menggelar ibadah dan perayaan Natal 2019.
"Kami minta Gubernur untuk memastikan hak warga dalam beribadah," ujar Ketua Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Taufan mengatakan, Komnas HAM melalui kantor perwakilan Padang telah beberapa kali mengirim surat ke kepala daerah setempat untuk mengupayakan dialog dalam menyelesaikan permasalahan itu. Namun, belum berhasil juga. Tak hanya itu, ia juga meminta pihak kepolisian untuk melindungi warga yang ingin beribadah.
"Kami sudah minta kepala daerah dan kepolisian untuk memberikan izin dan melindungi umat Kristen yang akan beribadah. Kemarin juga sudah minta gubernur ambil tindakan," tegasnya.
***
Sapri menuturkan, larangan beribadah dan merayakan Natal bagi Umat Kristiani tersebut merupakan sebuah pelanggaran berat. Ia meminta pemerintah pusat untuk turun langsung menyelesaikannya secara tegas. Kasus itu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Dia heran kenapa kasus itu bisa terjadi, pasalnya kultur masyarakat minang kabau lebih terbuka atas keberagaman. Ia menilai, pelarangan ibadah dan perayaan Natal itu ulah sekelompok masyarakat yang terprovokasi. Menurutnya hal itu adalah ancaman serius bagi bangsa dan negara ini.
“Itu ancaman bagi kebhinekaan Indonesia, karena itu kita harus melawan dengan cara-cara yang intelektual, lebih beradab. Sebab kita di Indoensia ini kan lebih penuh adab, penuh toleransi, jadi jangan dilawan dengan kekerasan.”
Sapri berpandangan, tindakan intoleransi dan diskriminatif tersebut tak lepas dari campur tangan pihak-pihak yang sengaja menyebarkan ideologi konservatif. Padahal, ideologi atau paham-paham yang konservatif itu tidak relevan bagi bangsa Indonesia saat ini. Paham-paham konservatif itu kini mulai berkembang dan diterima di sejumlah kalangan masyarakat.
“Saya tidak tahu betul apa penyebabnya, saya rasa dari rumah, lingkungan keluarga tidak berfungsi secara baik. Makanya kita harus bekerja keras untuk memperbaiki semua ini, tentunya dengan cara-cara kampanye, edukasi,” kata pria lulusan Universitas Al-Azhar, Mesir.
Warga Ahmadiyah yang ikut rombongan di Gereja St Theresia Parindrati W Ardhini menambahkan, kegiatan memberikan ucapan Selamat Natal kepada Umat Kristiani merupakan bagian dari mewujudkan sila-sila Pancasila. Selain itu, mewujudkan hidup bertoleransi antar sesama dengan perbedaan agama. Dengan menghargai perbedaan itu tentu akan hadir kedamaian.
“Kita mencoba menerapkan kelima Pancasila. Nomor satunya kan ketuhanan, jadi bagaimana kita saling menghargai perbedaan itu,” ujar dia.
Psikolog ini turut senang melihat Umat Kristiani menjalani ibadah dengan khusuk. Mengingat ia hadir saat jemaat melaksanakan ibadah misa pada malam Natal di Gereja St Theresia hingga selesai.
“Kami sangat senang melihat mereka beribadah dengan khusuk,” kata dia.
Dia menambahkan, di kalangan internal Ahmadiyah juga diajarkan sikap bertoleransi antar umat beragama. Hal itu diajarkan sejak dini bagi anak-anak mereka.