Tsunami Aceh 2004: Kisah Latiung, Desa yang Tak Lagi Berpenghuni

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 27 Desember 2019 | 13:18 WIB
Tsunami Aceh 2004: Kisah Latiung, Desa yang Tak Lagi Berpenghuni
Masjid dan rumah warga, yang masih tersisa dan ditinggal pergi oleh warga Desa Latiung. [Portalsatu/Egar Shabara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Inilah kisah penduduk Desa Latiung, Kecamatan Teupah Selatan, Kabupaten Simeulue, Aceh, yang kosong melompong ditinggal penduduknya setelah tsunami menerjang tahun 2004.

Selang 15 tahun, 2019, puing-puing bangunan Desa Latiung yang ditinggal warga masih bisa terlihat secara jelas.

Salah satunya papan nama Sekolah Negeri Latiung yang masih berdiri kokoh terbuat dari beton.

Sementara bekas dan sisa bangunan sekolah berwarna hitam masih tegak berdiri, terpanggang sinar matahari dan guyuran hujan, dan terlihat samar ditutupi tumbuhan liar.

Baca Juga: Kenang Tsunami Aceh, Warga Berziarah ke Kuburan Massal Tsunami

Yang terlihat masih terawat dengan baik hanyalah lokasi pemakaman. Sejumlah kuburan dan batu nisan tampak terjaga kebersihannya.

Selain itu, tak jauh dari desa tersebut, mulai dibangun pelabuhan nelayan di pinggir laut. Jarak antara pelabuhan dan desa tersebut, hanya terpaut sekitar 100 meter. Kekinian juga, terdapat satu warung kopi di sana.

"Masih teringat jelas di kepala saya terjadinya peristiwa linon (gempa) di atas jam sebelas malam, Selasa, Desember 2004 lalu. Waktu itu umur saya baru 12 tahun, kelas 6 SD,” kata Yoyon Tasoma, mantan warga desa tersebut kepada Portalsatu.com—jaringan Suara.com, Kamis (26/12/2019).

“Rumah saya roboh total dan kami sempat keluar dari rumah, lalu ada informasi bahwa air laut surut. Saya lari sekuat tenaga menyeberangi sawah dan semak belukar, menjauh dari kampung saya.”

Pria yang kini berusia 27 tahun itu, dengan wajah menunduk dan sedih, mengingat kejadian pada masa itu.

Baca Juga: 15 Tahun Tsunami Aceh, Korban Anak-Anak Masih Butuh Perhatian

Saat dia melarikan diri sejauh kurang lebih 4 kilometer dalam gelap gulita malam, melintasi persawahan dan semak belukar, mengikuti warga lain yang juga berhamburan lari dari rumahnya.

Dia mengaku merasa sedih setiap melihat bekas desanya. Ada keinginan untuk kembali dan menetap di sana.

Namun, hal itu tidak dapat terwujud disebabkan warga dan saudaranya yang tidak mau kembali.

Mereka lebih memilih tidak pindah dan tetap tinggal di lokasi titik akhir pelarian saat menghindar dari bencana linon dan smong (tsunami), yang kini disulap menjadi perkampungan dengan nama sama, Desa Latiung.

"Kejadian linon dan smong itu hanya beda hari saja dengan kejadian di daratan Aceh yang terjadi 26 Desember, sedangkan di daerah kami terjadi 28 Desember tahun yang sama," ujar Yoyon.

Yoyon merasa sedih melihat kampung yang ditinggalkan itu. Namun, dia juga sudah merasa nyaman tinggal di perkampungan baru.

Perkampungan baru yang masih ditabalkan nama Desa Latiung itu, dihuni 79 Kepala Keluarga (KK) atau 265 jiwa, telah memiliki fasilitas sekolah, kesehatan, serta fasilitas umum lainnya untuk kepentingan masyarakat di sana yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

Sekcam Teupah Selatan, Darmilus, mengungkapkan seluruh desa di wilayah itu, 26 Desember 2019, melaksanakan zikir untuk mengenang tragedi bencana alam linon dan smong 2004 lalu, serta zikir terkait fenomena gerhana matahari cincin.

"Seluruh masyarakat kumpul di masjid dan meunasah yang ada di Teupah Selatan ini, melakukan zikir mengenang 15 tahun bencana linon dan smong serta zikir fenomena alam gerhana matahari cincin. Memang betul ada bekas perkampungan yang ditinggal warga pada tahun 2004 lalu hingga saat ini tidak terawat," katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI