Suara.com - Bagi perempuan, hamil dan melahirkan adalah persoalan hidup dan mati. Belum lagi merawat bayi yang menguras habis energi. Lalu, bagaimana kalau mereka harus mengalaminya di balik jeruji besi?
IIS, bukan nama sebenarnya, terkenang betul akan pengalaman hamil keduanya.
Terlibat dalam kasus penggelapan uang, Iis harus melalui kehamilannya di dalam penjara pada tahun 2016, saat usia kandungannya sudah berusia tiga bulan.
Dalam sel berukuran sekitar 4x6 meter persegi, ia berbagi tempat dengan tujuh napi yang sedang hamil lainnya.
Baca Juga: Napi Perempuan Kabur, Beredar Isu Dibawa ke Losmen, Jaksa: Masih Diperiksa
Iis menghabiskan 6 bulan masa kehamilannya dengan hanya beralaskan matras tipis, beruntung ia tak harus berbagi tempat untuk tidur.
"[Setelah saya keluar] ada yang dua matras untuk bertiga," katanya kepada Nurina Savitri dari ABC Indonesia saat ditemui di Jakarta Barat, awal Desember.
Selama itu pula, ia mengakui tak pernah menjalani 'ultrasonography' (USG), sebuah proses yang biasanya dilakukan oleh ibu hamil.
"Selama di penjara, diperiksa bidan, tapi enggak pernah di-USG. Diperiksa detak jantung saja, itupun punya bidannya," kata Iis.
Layaknya kebanyakan perempuan hamil, Iis pun mengalami 'ngidam'. Tapi bedanya di dalam penjara, ia tak bisa leluasa memenuhi keinginannya karena keterbatasan.
Baca Juga: Selundupkan Barang ke Napi, Perempuan Ini Sembunyikan Ponsel di Kerudung
Pernah ia ingin sekali makan pizza, kemudian ia harus menitip kepada keluarga napi lain yang berkunjung.
"Suami saya enggak bisa jenguk karena dia juga masuk penjara," tuturnya.
Kembali ke sel sesaat setelah melahirkan
YANG TIDAK bisa ia lupakan adalah detik-detik persalinan anaknya, Afan, yang juga bukan nama sebenarnya.
Iis ingat sudah merasa mulas sejak pagi, tapi baru di siang hari setelah pergantian petugas penjara, ia diperbolehkan untuk berjalan mengintari blok penjara.
Sekitar setengah empat sore, kemudian ia di bawa ke rumah sakit dan saat itu sudah memasuki pembukaan empat.
"Habis Maghrib baru lahiran, normal. Jam 7, diberes-beresin sampai jam 9 [malam], besok siangnya saya pulang [ke penjara]," cerita mantan napi yang pernah mendekam di Lembaga Permasyarakatan Perempuan Kelas IIA di Jakarta Timur ini.
Tapi Iis mengaku dirinya termasuk yang "beruntung", karena napi perempuan lainnya seringkali "harus teriak dulu" dari lorong penjara sebelum melahirkan, terutama kalau mereka merasakan mulas di malam hari atau waktu subuh.
Pengeluaran sejuta rupiah per bulan
SEKEMBALINYA ke penjara, Iis dipindahkan ke sel lain bersama nap-napi lain yang juga memiliki anak.
Kali ini, ia harus berbagi ruangan dengan 13 perempuan lainnya dan 14 anak.
Iis membesarkan Afan selama 1,5 tahun di ruangan ini, yang seringkali dimandikan dengan air dingin.
Menurutnya jumlah bayi di dalam tahanan tidak sebanding dengan termos yang disediakan lapas, belum lagi harus disisakan untuk membuat susu.
"Kalau [mandi] pagi masih bisa pakai air panas, karena ada jatah air panas baru di termos, tapi kalau sore, pasti [mandi] air dingin karena air yang di termos untuk membuat susu dari sore sampai malam," kata perempuan berusia 31 tahun ini.
Iis mengaku seringkali berbagi cerita atau sekedar bertanya soal tip mengasuh anak kepada teman-teman napi yang sudah lebih dulu menjadi ibu.
Teman sesama napi bagi Iis sudah seperti keluarga, karena mereka juga menunjukkan kepedulian terhadap Afan.
Tapi Iis mengaku kebutuhan untuk anaknya selama di tahanan sebagian besar ia penuhi sendiri, tanpa mengandalkan pemberian Lapas.
"Sewaktu dalam penjara, saya menghabiskan sekitar 1 juta per bulan untuk berbagai kebutuhan anak, seperti popok dan makanan."
"Saya bilang, napi (perempuan) butuh lebih banyak donatur untuk menyumbangkan susu hamil dan susu formula untuk bayi," katanya.
Anak rentan alami kekerasan
IIS hanyalah satu dari banyak perempuan di Indonesia yang pernah menjalani kehamilan di dalam bui.
Tak semuanya seberuntung Iis, karena beberapa napi perempuan bahkan harus melewati proses melahirkan tanpa bantuan tenaga ahli.
Seperti yang diceritakan Tiar Simorangkir, seorang sutradara yang tengah menggarap film dokumenter 'Invisible Hope'.
Filmnya tersebut mengangkat kisah nyata para napi perempuan yang hamil, melahirkan, dan membesarkan anak mereka dalam tahanan.
Tiar sudah mengunjungi empat penjara di Jakarta dan Bandung selama enam bulan pada tahun 2018 lalu.
Ia mengatakan selama syuting filmnya tersebut, ia sempat melihat langsung beberapa napi yang harus melalui proses persalinan.
"Ada napi yang melahirkan dalam lapas namun karena tak ada bidan atau dokter, dan tak ada yang berani mengeluarkan plasenta, akhirnya napi ini dibawa keluar penjara dengan posisi bayinya yang masih tersambung dengan plasenta dalam perut."
"Satu napi lain terpaksa ikut keluar penjara untuk memegang si bayi ini," ujarnya kepada ABC Indonesia.
Pengalaman lainnya, ia pernah menyaksikan seorang napi yang hampir saja melahirkan dalam toilet. Beruntung saat itu ada napi lain yang berprofesi sebagai 'dukun beranak'.
Film dokumenter Tiar juga menangkap kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam penjara, yang dilakukan oleh ibunya sendiri.
Seperti yang diceritakan oleh salah satu napi perempuan dalam film yang itu, yang mengaku pernah memukul anaknya tanpa disadarinya, hingga anaknya menangis dan muntah.
"Aku galak mungkin karena emosi, ya karena rumah tangga aku kayak begitu," kata perempuan tersebut.
"Jadi larinya ke anak. Kalau sudah kesal, pelampiasannya bukan ke orang, jadi ke Iki [anaknya]."
Anggaran Lapas ibu hamil dan menyusui
DIREKTUR Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Indonesia, Sri Puguh Budi Utami, kekerasan terhadap anak di dalam penjara tidak mungkin terjadi.
Perempuan yang baru menduduki jabatannya di tahun 2019 ini mengaku menyaksikan sendiri bagaimana anak-anak di dalam penjara rata-rata mendapat kasih sayang dari para napi.
"Ocehan anak-anak itu pasti mengasyikkan buat mereka yang sedang menjalani hari-hari di dalam [penjara]," katanya yang akrab dipanggil Utami.
"Jadi yang ada bayi biasanya justru malah disayang. Yang saya lihat malah dicium sana-sini."
Dari catatan Sri, ada 14.653 napi perempuan yang tersebar di seluruh Indonesia, dan 68 di antaranya membawa bayi.
"Sementara yang hamil ada 40 orang, itu per bulan Oktober. Mungkin sekarang ada yang sudah lahiran, jadi jumlahnya berkurang," ujarnya kepada ABC ketika dihubungi akhir pekan lalu.
Utami mengaku jatah makanan rutin untuk napi perempuan yang hamil atau menyusui memang tidak dibedakan, meski ada sedikit tambahan.
"Untuk hamil, menyusui memang ada ekstra puding yang disiapkan, ada anggaran untuk ekstra puding."
Terkait anggaran untuk persalinan napi, kesejahteraan, serta kesehatan bayi napi, Utami memaparkan biasanya dana itu diambil dari paket perawatan kesehatan tahunan.
Termasuk didalamnya adalah biaya untuk kebutuhan menstruasi, obat-obatan, vaksin, vitamin, dan makanan tambahan bagi anak sampai usia dua tahun.
Besarnya anggaran beragam, mulai Rp 50 juta hingga Rp 90 juta per tahun per Lapas. Tapi untuk tahun 2020, sudah dihitung Rp 17.000 per orang untuk setiap bulannya.
Penjara belum penuhi hak napi
PENELITI bidang pemasyarakatan dari Australia National University (ANU), Leopold Sudaryono, mengatakan Indonesia bisa mencontoh Australia soal perlakuan terhadap napi perempuan yang hamil dan atau membesarkan anak dalam penjara.
Leo pernah mengunjungi penjara perempuan di Australia, yang kebetulan tingkat keamanannya lebih rendah dibandingkan penjara lainnya, sehingga bentuk penjaranya bukan seperti sel, melainkan seperti "cottage".
Para perempuan yang hamil dan menyusui tinggal di "cottage" tersendiri dengan ruangan yang lebih besar dan memiliki privasi untuk menyusui.
Tapi keadaan penjara khusus bagi perempuan hamil dan menyusui di Australia secara umum memang memiliki perbedaan karena berbagai pertimbangan.
"Ini bukan sekedar soal HAM, tapi juga perlakuan yang buruk itu juga memiliki efek yang buruk lagi kepada masyarakat," kata Doktor asal Indonesia tersebut
"Kalau kita memperlakukan napi secara buruk, kemungkinan dia re-offending [melanggar hukum kembali] juga semakin tinggi."
Menurut peneliti bidang hukum ini, Indonesia belum memiliki target pemenuhan hak-hak napi, lain halnya dengan di negara lain yang sudah memiliki indeks terukur.
Tak hanya itu, menurutnya, semua pelanggar hukum di Indonesia sudah pasti akan dimasukkan ke penjara.
Padahal di Australia, seperti Lapas di negara bagian New South Wales, hanya sepertiga pelanggar hukum yang masuk penjara, tambah Leo.
Hal ini pun terkait karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk napi di dalam penjara, sehingga penengak hukum lebih mencari hukuman alternatif.