Suara.com - Sambil berjalan mulai dari halaman depan hingga memasuki ruangan di dalam gereja, gerakan bibir Alfons tak henti-hentinya menjelaskan setiap inchi bangunan bersejarah yang berada di hadapannya. Sebuah Gereja berasitektur peninggalan Portugis yang diresmikan tahun 1748 itu masih kokoh berdiri hingga kini.
Alfons menuturkan, gereja yang tengah dijelaskan seluk beluk sejarahnya itu bernama Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Tugu, atau kerap disebut dengan Gereja Tugu. Dikatakannya, bangunan gereja yang merupakan cagar budaya itu sampai sekarang masih terjaga keasliannya meski usianya sudah lebih dari dua abad.
Mulai dari mimbar Gereja, cawan perjamuan, hingga kursi yang berada di kiri dan kanan bagian depan ruangan, disebut Alfons, kondisinya masih sama sejak gereja tersebut ada. Begitupun kayu-kayu yang menjadi atap dan jendela gereja, semuanya masih asli.
Keasliannya itu memang sengaja dirawat, mengingat bangunannya yang berstatus sebagai cagar budaya.
Baca Juga: Jelang Malam Natal, Gegana Sterilisasi Gereja Katedral
"Jadi apapun yang mau diubah, semisal memasang AC itu juga harus melalui sidang karena status bangunanya cagar budaya," kata Alfons pada Selasa (24/13/2019).
Kebetulan saat Suara.com datang mengunjungi Gereja Tugu di Kampung Tugu, Kecamatan Semper, Jakarta Utara, suasana persiapan menjelang Misa Malam Natal terasa. Penduduk sekitar bersama pengurus Gereja Tugu yang mayoritas keturunan Portugis bergotong royong mempersiapkan agenda Misa Malam Natal.
Alfons berujar, kehadiran para keturunan Portugis yang merupakan penduduk Kampung Tugu itu menjadi salah satu ciri khas dan keunikan di Gereja Tugu.
Selain sisi kesejarahan Gereja Tugu, Alfons menjelaskan ada hal berharga lainnya yang telah menjadi tradisi dan dijaga oleh penduduk Kampung Tugu, yakni keragaman dan toleransi antarumat beragama.
Salah satu bukti nyata adanya toleransi di Kampung Tugu, khususnya Gereja Tugu ialah melalui musik keroncong. Sebagaimana diketahui, Kampung Tugu memang dikenal luas dengan musik peninggalan Bangsa Portugis, yaitu Keroncoong Tugu.
Baca Juga: 316 Gereja Dapat Pengamanan Khusus, Ditinjau Langsung Kapolri dan Panglima
Musik itu juga yang kerap dimainkan mengiringi ibadah rutin umat Kristiani maupun saat hari raya besar seperti Natal di Gereja Tugu.
![Persiapan misa natal di Gereja tertua di Indonesia, yakni Gereja Tugu di Kampung Tugu, Semper, Jakarta Utara. (Suara.com/Novian)](https://media.suara.com/pictures/653x366/2019/12/24/18233-gereja-tertua-di-indonesia-yakni-gereja-tugu-di-kampung-tugu-semper-jakarta-utara.jpg)
Alfons mengungkapkan, sisi lain dari musik keroncong tugu di Gereja Tugu adalah para pemusiknya yang tidak hanya beragama Kristen, namun ada juga mereka yang beragama Islam. Dari hal itulah, toleransi hadir dalam sebuah tradisi turun temurun.
"Tadi mengenai keroncong, personel keroncong itu juga bukan semuanya orang Kristen ada Cafrinho (kelompok keroncong tugu) itu banyak orang muslim Betawi-Betawi aslinya banyak. Tetapi, ketika mengiringi lagu-lagu rohani untuk ibadah, mereka mengiringi tanpa memandang agama apa segala macam itu gak ada, jstru itu salah satu toleransi kerukunan antarumat beragama," jelas Alfons.
Hadirnya toleransi antara muslim dan kristiani, lanjut Alfons, tidak hanya dalam berkesenian musik. Dalam kehidupan sehari-hari kedua umat beragama itupun tetap berdampingan dan saling membantu satu sama lain. Kerukunan itu, kata dia, bisa ada lantaran telah dipupuk oleh para nenek moyang mereka sejak lama.
Alfons bercerita, pada masa kolonial terdahulu, persaudaraan antarumat beragama di Kampung Tugu sudah terjalin. Mereka saling melindungi satu sama lainnya dari pihak lain yang mencoba mengintervensi atau menyerang Kampung Tugu.
"Dulu ketika ada pemberontakan-pemberontakan untuk menghancurkan gereja ini, yang jaga, yang maju di depan di barisan terdepan itu jawara-jawara orang Betawi yang notabenenya muslim. Saat pemberontakan Cina terus pemberontak yang ada di Cilincing yang ingin menghancurkan, ya yang terdepan yang menjaga orang Betawi dan keturunannya masih ada sampai sekarang," tutur Alfons.
Sementara itu, generasi ke-4 pewaris keroncong tugu sekaligus pemimpin kelompok Keroncong Tugu Cafrinho, Guido Quiko mengemukakan, memang dalam bermusik dirinya beserta anggota kelompok Cafrinho tidak pernah membicarakan agama.
Mereka justru saling merangkul demi melestarikan musik peninggalan kakek buyut mereka yang keturunan Portugis. Guido bahkan menjelaskan, seluruh unsur mulai dari budaya, orang per orang hingga apa saja yang berada di Kampung Tugu termasuk Gereja Tugu memiliki keterkaitan atau hubungan satu dengan yang lain dan tidak terpisahkan.
"Apapun di Tugu ini gak bisa dilepasin baik itu kuliner, kesenian apalagi masyarakatnya. Sekarang kita sudah mulai bercampur karena banyak juga saudara-saudara kita yang memeluk agama muslim karena dia dapeet jodohnya mungkin begitu," ujar Guido ditemui di kediamannya di Kampung Tugu.
"Tapi bukan berarti mereka muslim enggak boleh mereka ajak, enggak. Malah kita rangkul karena apa? Karena kita enggak bicara agama di Tugu ini kita sama sekali enggak ngomongin agama. Kita cenderung kepada bagaimana kita ini hidup sebagai saudara satu darah. Banyak saudara-saudara kita yang muslim ikut bantu datang acara kebaktian."
Ia mengungkapkan, banyak dari anggota kelompok Keroncong Tugu Cafrinho yang beragama Islam, namun tetap tidak masalah ketika ikut mengiringi musik untuk ibadah umat kristiani di Gereja Tugu.
"Iya kita di musik kita enggak bicara agama gitu kan mau apapun juga lagunya kita ini hanya pemain musik bukannya kita orang fanatik gitu, enggak. Kita orang seniman gini enggak bisa dianggap kita ini mentang-mentang kita Kristen enggak mau iringin lagu lebaran," ujarnya.
Baik Alfons maupun Guido dan masyarakat Kampung Tugu merupakan contoh nyata dari keberagaman dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang memang sejak dahulu sudah ada. Alfons menambahkan, kerukunan di Kampung Tugu tetap terjaga hingga kini karena para orang tua mereka terdahulu yang melestarikan, mengajarkan, dan menanamkannya kepada anak cucu sebagai generai penerus.
"Yang penting ada contoh daripada orang tua yang menjaga budaya itu terus dilestarikan ke anak cucu. Jadi setiap ada budaya seperti itu dilestarikan ke generasu penerus bahwa inilah arti dari budaya kita. Bahwa memang kita itu dari dulu itu harus menjaga persaudaraan, harus menjaga kekeluargaan, harus menjaga toleransi."