Anak dan Mantu Jokowi Maju Pilkada, Apa yang Salah dengan Politik Dinasti?

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 24 Desember 2019 | 08:01 WIB
Anak dan Mantu Jokowi Maju Pilkada, Apa yang Salah dengan Politik Dinasti?
Putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka berjalan menuju kediaman Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Kamis (24/10).[Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tudingan sedang membangun sebuah politik dinasti dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi ketika putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka ingin maju di Pilkada Solo 2020.

Tak hanya Gibran, sang menantu presiden, Bobby Nasution, juga tengah mencoba peruntungan di di kancah politik dengan maju di Pilkada Medan 2020.

Disadur dari laman VOA Indonesia, Presiden Jokowi dengan tegas telah menyangkal bahwa dirinya sedang membangun sebuah dinasti politik. Ia menyatakan, bahwa majunya Gibran di dunia politik adalah murni keputusan dari Gibran sendiri.

“Kan sudah saya sampaikan bolak balik. Bahwa itu sudah menjadi keputusan. Tanyakan langsung ke anaknya,” ujar Jokowi kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Dituding Politik Dinasti, Gibran: Dipilih Monggo, Tidak Dipilih Ya Silakan

Ia menegaskan, sama sekali tidak menunjuk anaknya untuk terjun di kancah politik seperti dirinya. Menurutnya, pilkada adalah sebuah kompetisi, jadi bisa saja anak sulung dan menantunya tersebut kalah. Lagipula, kata Jokowi, setiap orang mempunyai hak untuk dipilih dan memilih termasuk putra dan sang menantu.

“Itu kan sebuah kompetisi. Kompetisi bisa menang bisa kalah. Terserah rakyat yang memiliki hak pilih. Siapapun punya hak pilih dan dipilih. Ya kalau rakyat ga memilih gimana. Ini kompetisi bukan penujukkan. Beda. Tolong dibedakan,” kata Jokowi.

Anak Wapres di Pilkada Tangsel

Putri Pertama Wapres Maruf Amin, Siti Nur Azizah Maruf mengembalikan formulir ke PDIP Tangsel untuk maju menjadi bacalon walkot daerah setempat, Senin (16/9/2019). [Suara.com/M Iqbal]
Putri Pertama Wapres Maruf Amin, Siti Nur Azizah Maruf mengembalikan formulir ke PDIP Tangsel untuk maju menjadi bacalon walkot daerah setempat, Senin (16/9/2019). [Suara.com/M Iqbal]

Anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah juga akan maju di pemilihan Wali Kota Tangerang Selatan 2020-2025. Senada dengan Jokowi, Ma’ruf pun dengan tegas membantah sedang membuat dinasti politik.

Mar’uf mengatakan, dirinya tidak mengarahkan sang putri untuk terjun dalam dunia politik. Bahkan, posisi wapres saat ini adalah bukan keinginan dirinya, namun murni atas dorongan masyarakat.

Baca Juga: Politik Dinasti di Lingkaran Presiden dan Wapres, Ma'ruf: Enggak Ada

“Saya bilang kalau saya tidak mendorong, tapi kalau masyarakat meminta tentu saya hanya tut wuri handayani saja ya, dan mengikuti maunya masyarakat saja,” ujar Ma’ruf beberapa waktu lalu kepada wartawan.

Ditambahkannya, putrinya dan dirinya sama sekali tidak melakukan konsultasi terkait politik. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kompetisi putrinya tersebut belum tentu akan menang. Semua tergantung dari masyarakat untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin.

“Enggak, enggak ada, bahwa dia mencalonkan kalau memang masyarakatnya mau dan itu dorongan dari masyarakat, gak ada masalah gitu aja. tut wuri aja, jadi enggak ada, kita ini jadi ini, jadi ini, enggak ada, tergantung kemampuan saja,” jelas Ma’ruf.

Politik Dinasti, Salahkah?

Ilustrasi Pilkada Serentak. [Ayobandung.com]
Ilustrasi Pilkada Serentak. [Ayobandung.com]

Pengamat politik Hamdi Muluk mengatakan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan politik dinasti atau clan politik. Menurutnya hal tersebut terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Selain itu, sebuah dinasti atau klan tidak hanya terjadi di politik saja, tapi terjadi di seluruh bidang maupun profesi. Jadi menurutnya, hal semacam ini lumrah terjadi dimana pun.

Dalam kasus Gibran, kata Hamdi, yang maju menjadi Wali Kota Solo, potensi untuk terjadinya konflik kepentingan kecil, karena jarak yang jauh antara jabatan presiden dengan wali kota.

“Jadi mungkin sepertinya di seluruh dunia itu yang ditakutkan dengan politik dinasti itu bukan politik dinastinya, misalnya satu family itu involved in politics, itu kan yang terjadi juga di klan Kennedy, keluarganya ada yang jadi anggota kongres, ada yang jadi gubernur, itu common menurut saya, itu terjadi juga di keluarganya Nehru di India, anaknya Indra Gandhi setelah itu jadi Perdana Menteri, artinya mungkin harus kita pisahkan apa yang disebut dengan tradisi sebuah keluarga punya clan atau dinasti politik, bahwa secara klan, secara dinasti mereka involved in politics, terus itu common lah,” ujarnya kepada VOA.

Lanjutnya, secara psikologis orang yang maju dalam dunia politik dan mempunyai keluarga yang sudah berkecimpung di politik terlebih dahulu mempunyai keuntungan tersendiri, karena mendapatkan mentoring atau pelatihan langsung dari keluarganya tersebut. Apalagi kalau keluarganya sudah memenangkan sebuah kontestasi pilkada misalnya.

“Misalnya kalau orang mendapat proses mentoring politik dari pamannya, bapaknya atau sesuatu, itu kan suatu nilai tambah. Orang tidak bisa dalam tanda kutip mengatakan iri, ya kenapa iri, karena kebetulan bapaknya atau pamannya terjun di politik, terus mereka dapat proses mentoring, jadi sudah tahu seluk beluk politik, itu common juga terjadi di profesi yang lain. Misalnya musisi anaknya jadi musisi juga, karena mereka dapat proses role model, proses belajar dari tangan pertama, dari sehari-hari dan proses transfer of knowledge , transfer of skill itu lebih cepat, dan dunia tidak terlalu mengeluhkan juga tentang hal ini,” tambah Hamdi.

Hamdi menegaskan bahwa yang perlu dijaga dalam hal ini adalah jangan sampai terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Itulah yang dikhawatirkan oleh masyarakat, jika sebuah keluarga sedang membangun dinasti politik. Jangan sampai kekuasaan disalahgunakan untuk hal-hal tersebut diatas. Menurutnya itu yang harus dijaga oleh sebuah keluarga yang terjun dalam sebuah dunia politik, termasuk Jokowi dan Ma’ruf.

“Sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat dunia soal dinasti politik itu adalah soal korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) atau conflict of interest. Itu nanti punya resiko moral yang jelek seperti keluhan orang dulu, misalnya Atut jadi Gubernur, beberapa keluarganya jadi Bupati, tapi adiknya menguasai jaringan bisnis, proyek-proyek APBD, nah itu jelek. Jadi yang kita pagari bukan soal persoalan dinasti politiknya, orang berhak dong karena dia dapat mentor politik, dan belajar dari role model yang punya kapasitas terus dia maju , itu sah-sah saja,” paparnya.

Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago melihat tidak ada yang salah dengan majunya Gibran dan Bobby maupun Siti dalam pilkada, sepanjang mereka tidak menggunakan fasilitas dan kekuasaan orang tua masing-masing dalam rangka memenangkan kontestasi pilkada tersebut. dan hal itu menurutnya bukanlah sebuah dinasti politik.

“Politik dinasti itu biasanya si Presiden turun tangan langsung membackup Gibran misalnya, nenteng Gibran kemana-mana, Pak Ma’ruf nenteng anaknya kemana-mana memperkenalkan anaknya, lalu kampanye untuk anaknya. Gibran maju sebagai Wali Kota Solo, atau anaknya Pak Ma’ruf maju sebagai Wali Kota Tangerang itu juga sebenarnya HAM, orang kan boleh dipilih dan memilih juga, sepanjang orang tuanya tidak memberikan supporting dengan kekuasaannya, ini yang menurut saya disebut dengan dinasti politik, karena kekuasaan itu digunakan untuk membackup anaknya, itu baru bisa dinamakan menggunakan dinasti politik. Jadi menurut saya tidak ada masalah Gibran maju atau anaknya Pak Ma’ruf maju,” ujar Irma kepada VOA.

Ditambahkannya, sejauh yang diamatinya, Jokowi tidak pernah menyalahgunakan posisinya sebagai Presiden untuk memberikan pengaruh kepada kehidupan anak-anaknya. Hal itu terjadi ketika putrinya Kahiyang Ayu gagal dalam tes untuk menjadi CPNS. Pada saat itu, Jokowi dan keluarganya menerima keputusan tersebut karena hasil tes yang menunjukan bahwa Kahiyang tidak lolos. Begitu juga dengan Gibran, yang tidak pernah campur tangan dalam proyek-proyek pemerintah.

“Kita bisa lihat ketika anaknya pak Jokowi yang perempuan ikut tes pegawai negeri, tidak lulus kan? Dan pak Jokowi kan tidak pernah ribut, begitu juga dengan Gibran, tidak pernah pak Jokowi menyebut soal Gibran, atau pak Jokowi menyebut soal menantu gak pernah. Jadi dilepas oleh beliau, silahkan cari makan sendiri, silahkan cari kehidupan sendiri, tidak boleh ngerecokin orang tua, anak-anaknya pun sama, dan pernah memberikan statement, bahwa saya anaknya pak Jokowi, saya bukan anak presiden, itu juga pernah disampaikan oleh Gibran. Makanya kemudian dia bisnis, jual martabak dan lain-lain, itu sebenarya ingin menunjukkan kepada publik bahwa saya tidak ikut campur di proyek pemerintah, Gibran tidak pernah jadi pengusaha untuk proyek pemerintah,” jelas Irma.

Partai Demokrat Sebut Tak Elok

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. (Suara.com/M. Yasir)
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. (Suara.com/M. Yasir)

Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan berpendapat, bahwa siapa saja boleh maju dalam sebuah kontestasi pemilihan umum, termasuk Gibran, Bobby dan Siti. Namun, menurutnya akan lebih elok jika mereka maju ketika orang tuanya sudah lengser dari sebuah jabatan publik.

“Demokrasi itu salah satu pilihan melakukan rekruitmen kepemimpinan. siapa saja bisa ikut berkontestasi. Namun demikian, demokrasi memberikan jaminan kesetaraan dan fairplay serta fairness dalam melakukan kontestasi. Ketika ia maju berkontestasi pada saat orangtuanya atau keluarganya memegang puncak kekuasaan pemerintahan “roso” keadilan publik terusik; karena itu lebh elok jika mereka melakukannya ketika orangtuanya tak lagi berada di puncak kekuasaan. Presiden SBY pernah memberikan contoh yang baik; AHY putranya maju berkontestasi di pilkada DKI jakarta 2017 saat pak SBY sudah tidak di puncak kekuasaan. ini contoh yg baik,” ujarnya dalam pesan singkat kepada VOA.

Menurutnya, potensi konflik kepentingan mungkin saja terjadi kalau Gibran, Bobby dan Siti maju saat orang tuanya masih dalam rezim kekuasaan. Rasa keadilan di mata publik pun, kata Hinca akan terusik.

“Rasa keadilan publik membacanya begitu: jika menang atau jika kalah tetap ada rasa yang tak pas untuk dijelaskan ke publik. Saya lebih cendrung menyebut “clan politik aktif”. sungguh elok jika mereka berkontestasi sesudah clannya tidak dalam posisi puncak pemerintahan,” jelas Hinca.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI