Anak dan Mantu Jokowi Maju Pilkada, Apa yang Salah dengan Politik Dinasti?

Bangun Santoso Suara.Com
Selasa, 24 Desember 2019 | 08:01 WIB
Anak dan Mantu Jokowi Maju Pilkada, Apa yang Salah dengan Politik Dinasti?
Putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka berjalan menuju kediaman Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta, Kamis (24/10).[Suara.com/Angga Budhiyanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sementara itu, Ketua DPP Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago melihat tidak ada yang salah dengan majunya Gibran dan Bobby maupun Siti dalam pilkada, sepanjang mereka tidak menggunakan fasilitas dan kekuasaan orang tua masing-masing dalam rangka memenangkan kontestasi pilkada tersebut. dan hal itu menurutnya bukanlah sebuah dinasti politik.

Politik dinasti itu biasanya si Presiden turun tangan langsung membackup Gibran misalnya, nenteng Gibran kemana-mana, Pak Ma’ruf nenteng anaknya kemana-mana memperkenalkan anaknya, lalu kampanye untuk anaknya. Gibran maju sebagai Wali Kota Solo, atau anaknya Pak Ma’ruf maju sebagai Wali Kota Tangerang itu juga sebenarnya HAM, orang kan boleh dipilih dan memilih juga, sepanjang orang tuanya tidak memberikan supporting dengan kekuasaannya, ini yang menurut saya disebut dengan dinasti politik, karena kekuasaan itu digunakan untuk membackup anaknya, itu baru bisa dinamakan menggunakan dinasti politik. Jadi menurut saya tidak ada masalah Gibran maju atau anaknya Pak Ma’ruf maju,” ujar Irma kepada VOA.

Ditambahkannya, sejauh yang diamatinya, Jokowi tidak pernah menyalahgunakan posisinya sebagai Presiden untuk memberikan pengaruh kepada kehidupan anak-anaknya. Hal itu terjadi ketika putrinya Kahiyang Ayu gagal dalam tes untuk menjadi CPNS. Pada saat itu, Jokowi dan keluarganya menerima keputusan tersebut karena hasil tes yang menunjukan bahwa Kahiyang tidak lolos. Begitu juga dengan Gibran, yang tidak pernah campur tangan dalam proyek-proyek pemerintah.

“Kita bisa lihat ketika anaknya pak Jokowi yang perempuan ikut tes pegawai negeri, tidak lulus kan? Dan pak Jokowi kan tidak pernah ribut, begitu juga dengan Gibran, tidak pernah pak Jokowi menyebut soal Gibran, atau pak Jokowi menyebut soal menantu gak pernah. Jadi dilepas oleh beliau, silahkan cari makan sendiri, silahkan cari kehidupan sendiri, tidak boleh ngerecokin orang tua, anak-anaknya pun sama, dan pernah memberikan statement, bahwa saya anaknya pak Jokowi, saya bukan anak presiden, itu juga pernah disampaikan oleh Gibran. Makanya kemudian dia bisnis, jual martabak dan lain-lain, itu sebenarya ingin menunjukkan kepada publik bahwa saya tidak ikut campur di proyek pemerintah, Gibran tidak pernah jadi pengusaha untuk proyek pemerintah,” jelas Irma.

Baca Juga: Dituding Politik Dinasti, Gibran: Dipilih Monggo, Tidak Dipilih Ya Silakan

Partai Demokrat Sebut Tak Elok

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. (Suara.com/M. Yasir)
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Pandjaitan. (Suara.com/M. Yasir)

Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Demokrat Hinca Pandjaitan berpendapat, bahwa siapa saja boleh maju dalam sebuah kontestasi pemilihan umum, termasuk Gibran, Bobby dan Siti. Namun, menurutnya akan lebih elok jika mereka maju ketika orang tuanya sudah lengser dari sebuah jabatan publik.

“Demokrasi itu salah satu pilihan melakukan rekruitmen kepemimpinan. siapa saja bisa ikut berkontestasi. Namun demikian, demokrasi memberikan jaminan kesetaraan dan fairplay serta fairness dalam melakukan kontestasi. Ketika ia maju berkontestasi pada saat orangtuanya atau keluarganya memegang puncak kekuasaan pemerintahan “roso” keadilan publik terusik; karena itu lebh elok jika mereka melakukannya ketika orangtuanya tak lagi berada di puncak kekuasaan. Presiden SBY pernah memberikan contoh yang baik; AHY putranya maju berkontestasi di pilkada DKI jakarta 2017 saat pak SBY sudah tidak di puncak kekuasaan. ini contoh yg baik,” ujarnya dalam pesan singkat kepada VOA.

Menurutnya, potensi konflik kepentingan mungkin saja terjadi kalau Gibran, Bobby dan Siti maju saat orang tuanya masih dalam rezim kekuasaan. Rasa keadilan di mata publik pun, kata Hinca akan terusik.

“Rasa keadilan publik membacanya begitu: jika menang atau jika kalah tetap ada rasa yang tak pas untuk dijelaskan ke publik. Saya lebih cendrung menyebut “clan politik aktif”. sungguh elok jika mereka berkontestasi sesudah clannya tidak dalam posisi puncak pemerintahan,” jelas Hinca.

Baca Juga: Politik Dinasti di Lingkaran Presiden dan Wapres, Ma'ruf: Enggak Ada

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI