Ditambahkannya, putrinya dan dirinya sama sekali tidak melakukan konsultasi terkait politik. Ia mengatakan bahwa dalam sebuah kompetisi putrinya tersebut belum tentu akan menang. Semua tergantung dari masyarakat untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpin.
“Enggak, enggak ada, bahwa dia mencalonkan kalau memang masyarakatnya mau dan itu dorongan dari masyarakat, gak ada masalah gitu aja. tut wuri aja, jadi enggak ada, kita ini jadi ini, jadi ini, enggak ada, tergantung kemampuan saja,” jelas Ma’ruf.
Politik Dinasti, Salahkah?
Pengamat politik Hamdi Muluk mengatakan, sebenarnya tidak ada yang salah dengan politik dinasti atau clan politik. Menurutnya hal tersebut terjadi di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Selain itu, sebuah dinasti atau klan tidak hanya terjadi di politik saja, tapi terjadi di seluruh bidang maupun profesi. Jadi menurutnya, hal semacam ini lumrah terjadi dimana pun.
Baca Juga: Dituding Politik Dinasti, Gibran: Dipilih Monggo, Tidak Dipilih Ya Silakan
Dalam kasus Gibran, kata Hamdi, yang maju menjadi Wali Kota Solo, potensi untuk terjadinya konflik kepentingan kecil, karena jarak yang jauh antara jabatan presiden dengan wali kota.
“Jadi mungkin sepertinya di seluruh dunia itu yang ditakutkan dengan politik dinasti itu bukan politik dinastinya, misalnya satu family itu involved in politics, itu kan yang terjadi juga di klan Kennedy, keluarganya ada yang jadi anggota kongres, ada yang jadi gubernur, itu common menurut saya, itu terjadi juga di keluarganya Nehru di India, anaknya Indra Gandhi setelah itu jadi Perdana Menteri, artinya mungkin harus kita pisahkan apa yang disebut dengan tradisi sebuah keluarga punya clan atau dinasti politik, bahwa secara klan, secara dinasti mereka involved in politics, terus itu common lah,” ujarnya kepada VOA.
Lanjutnya, secara psikologis orang yang maju dalam dunia politik dan mempunyai keluarga yang sudah berkecimpung di politik terlebih dahulu mempunyai keuntungan tersendiri, karena mendapatkan mentoring atau pelatihan langsung dari keluarganya tersebut. Apalagi kalau keluarganya sudah memenangkan sebuah kontestasi pilkada misalnya.
“Misalnya kalau orang mendapat proses mentoring politik dari pamannya, bapaknya atau sesuatu, itu kan suatu nilai tambah. Orang tidak bisa dalam tanda kutip mengatakan iri, ya kenapa iri, karena kebetulan bapaknya atau pamannya terjun di politik, terus mereka dapat proses mentoring, jadi sudah tahu seluk beluk politik, itu common juga terjadi di profesi yang lain. Misalnya musisi anaknya jadi musisi juga, karena mereka dapat proses role model, proses belajar dari tangan pertama, dari sehari-hari dan proses transfer of knowledge , transfer of skill itu lebih cepat, dan dunia tidak terlalu mengeluhkan juga tentang hal ini,” tambah Hamdi.
Hamdi menegaskan bahwa yang perlu dijaga dalam hal ini adalah jangan sampai terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Itulah yang dikhawatirkan oleh masyarakat, jika sebuah keluarga sedang membangun dinasti politik. Jangan sampai kekuasaan disalahgunakan untuk hal-hal tersebut diatas. Menurutnya itu yang harus dijaga oleh sebuah keluarga yang terjun dalam sebuah dunia politik, termasuk Jokowi dan Ma’ruf.
Baca Juga: Politik Dinasti di Lingkaran Presiden dan Wapres, Ma'ruf: Enggak Ada
“Sesuatu yang tidak diinginkan oleh masyarakat dunia soal dinasti politik itu adalah soal korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) atau conflict of interest. Itu nanti punya resiko moral yang jelek seperti keluhan orang dulu, misalnya Atut jadi Gubernur, beberapa keluarganya jadi Bupati, tapi adiknya menguasai jaringan bisnis, proyek-proyek APBD, nah itu jelek. Jadi yang kita pagari bukan soal persoalan dinasti politiknya, orang berhak dong karena dia dapat mentor politik, dan belajar dari role model yang punya kapasitas terus dia maju , itu sah-sah saja,” paparnya.