Natal Dilarang di Dharmasraya, SETARA: Negara Abai!

Sabtu, 21 Desember 2019 | 13:47 WIB
Natal Dilarang di Dharmasraya, SETARA: Negara Abai!
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan negara harus hadir dalam melindungi kebebasan warga negara untuk melakukan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Hal itu dikatakan Bonas dalam menanggapi kasus pelarangan perayaan Natal di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat.

Bonar berujar bahwa kewajiban negara tidak sebatas mengakui keberadaan agama yang dipeluk oleh warga negaranya, melainkan juga harus memastikan bahwa warga negara dapat beribadah dan menjalankan keyakinan mereka.

"Kewajiban negara bukan hanya mengakui agama tetapi juga adalah melindungi hak setiap warga negaranya untuk berekspresi menjalankan keyakinannya dan bersama-sama dengan sesama untuk mempraktikannya dan kemudian menjamin pendirian rumah ibadah. Itu kewajiban dari negara," kata Bonar di Kantor SETARA Institute, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12/2019).

Kewajiban yang seharusnya dilakukan negara itu, justru Bonar melihat absennya negara. Bonar menilai apa yang dilakukan negara melalui pemerintahnya malah melakukan hal sebaliknya. Pemerintah, diakui Bonar tidak berdaya ketika mendapat tekanan dari kelompok mayoritas.

Baca Juga: Ini 4 Objek Wisata Instagramable di Jogja yang Cocok Isi Liburan Natal Kamu

"Tetapi yang kita lihat selama ini bahwa negara abai bahkan melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan intoleran oleh warga negara lain atau kelompok lain dan cenderung untuk tunduk untuk kepada tekanan kelompok yang besar,"

Ketidakberdayaan pemerintah pusat khususnya pemerintag daerah dalam menghadapi kelompok mayoritas tersebut bukan tanpa sebab. Bonar menuturkan bahwa ada kepentingan elektoral dalam hal menjaga perolehan suara dan konstituen di kelompok mayoritas dalam rangka memuluskan para pimpinan di daerah pada saat Pilkada.

"Terutama adalah pemerintah daerah karena mereka selalu memiliki kepentingan elektoral, kepentingan untuk mendapatkan dukungan kelompok yang besar khususnya untuk Pilkada begitu atau juga dengan argumen atau dalih untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Itu pola pola yang kami lihat selama ini," ujar Bonar.

"Jadi kalaupun kasus di Sumatra Barat ini mencuat tapi kami melihat pada pola-pola yang lain juga terjadi di daerah-daerah lain," sambungnya.

Sebelumnya dikabarkan seluruh umat Kristiani di Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung dan Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dilarang menggelar ibadah dan perayaan Natal tahun 2019.

Baca Juga: Selat Sunda dan Anyer Dijaga Ketat Selama Libur Natal dan Tahun baru

Pemerintah setempat berdalih, perayaan Natal dilarang di dua lokasi itu karena tidak dilakukan pada tempat ibadah pada umumnya.

"Mereka tidak mendapatkan izin dari pemerintah setempat kerena perayaan dan ibadah Natal dilakukan di rumah salah satu umat yang telah dipersiapkan. Pemda setempat beralasan karena situasinya tidak kondusif," ujar Badan Pengawas Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA), Sudarto kepada Covesia—jaringan Suara.com melalui telepon di Padang, Selasa (17/1/2/2019).

Menurut Sudarto, pelarangan bagi umat Nasrani ini untuk merayakan Natal dan Tahun Baru sudah berlangsung sejak tahun 1985.

Selama itu pula Sudarto mengungkapkan bahwa umat Nasrani tersebut biasa melakukan ibadah secara diam-diam di salah satu rumah jamaat.

"Mereka sudah beberapa kali mengajukan izin untuk merayakan Natal, namun tak kunjung diberikan izin. Pernah sekali, pada awal tahun 2000, rumah tempat mereka melakukan ibadah kebaktian dibakar karena adanya penolakan dari warga," ungkapnya.

Sudarto menilai larangan tersebut merupakan suatu tindakan melanggar HAM. Sebab, negara sejatinya telah menjamin setiap umat beragama diberikan kebebasan untuk merayakan hari besar agama masing-masing.

"Saat ini sekitar 210 kepala keluarga (KK) umat Nasrani di Sungai Tambang, yang terdiri dari 120 KK jamaat HKBP, 60 KK Khatolik dan 30 KK GKII. Selama ini merayakan Natal di geraja di Sawahlunto yang harus menempuh jarak 120 kilometer," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI