Suara.com - Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengkritik wacana penghapusan sanksi pidana terhadap korporasi yang terlibat korupsi.
Wacana penghapusan sanksi pidana itu bakal diatur dalam kebijakan penyederhanaan regulasi atau omnibus law yang kali pertama digagas Presiden Jokowi.
Syarif menegaskan, penghapusan saksi pindana untuk korporasi dapat menyebabkan kemjunduran sistem peradilan di Indonesia.
"Jadi, jangan membuat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial, malah kembali ke kolonial," kata Laode M Syarif di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2019).
Baca Juga: Ekonom Faisal Basri Ungkap Salah Kaprah Kebijakan Omnibus Law Jokowi
Syarif berharap, perumus omnibus law nantinya tetap memasukkan sanksi pidana untuk korporasi yang kedapatan melakukan tindak pidana korupsi.
Selain itu, Syarif juga meminta perumus aturan omnibus law dapat lebih dulu menyusun naskah akademik yang komprehensif, dengan mempertimbangkan penyelamatan aset negara.
"Kami berharap, ada naskah akademik. Jangan ujuk-ujuk langsung keluar pasal-pasal itu dari pemerintah. Naskah akademiknya harus jelas, siapa timnya yang melakukan itu," kata Syarif.
Syarif mengkritik tim satuan tugas perumus omnibus law yang digawangi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Menurut dia, Kemeko Perekonomian kurang memunyai kapasitas dalam bidang hukum. Terlebih, di dalamnya juga tidak ada ahli hukum.
Baca Juga: Ada Omnibus Law, Pengusaha Nakal Tak Lagi Dipidana Tapi Didenda
"Setelah saya baca, timnya, kalau itu benar yang ada di media, kebanyakan perwakilan dari perusahaan, selain pemerintah. Juga dari universitas itu rekrot yang sepertinya bukan ahli hukum,” kata dia.