Suara.com - Deportasi yang dilakukan terhadap buruh migran asal Jember Jawa Timur, Yuli Riswati dianggap sebagai tindakan represif oleh Pemerintah Hongkong. Dideportasinya Yuli, akibat kebiasaanya menulis berita demonstrasi di media bernama Migran Pos yang dikhususkan untuk buruh migran Indonesia.
Yuli dideportasi belakangan bermasalah terutama bukan sehubungan pekerjaan rutinnya sehari-hari sebagai PRT, melainkan terkait aktivitasnya yang juga sebagai jurnalis warga atau citizen journalist.
Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant CARE Indonesia, Anis Hidayah menyesalkan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Hong Kong tersbut. Menurutnya pemberitaan tentang demonstrasi di Hong Kong diduga mengganggu kondisi politik di sana.
"Sebenarnya kami menyesalkan tindakan represif Pemerintah Hong Kong ya. Tak hanya para buruh migran, masyarakat sipil di sana sebenarnya juga terkena (tindakan represif)," kata Anis saat ditemui di Asrama Haji Surabaya, Rabu (18/12/2019).
Baca Juga: EKSKLUSIF Yuli Riswati: Cerita di Balik Deportasi Dirinya dari Hongkong
Anis juga menilai kebijakan mendeportasi untuk Yuli adalah tindakan pelanggaran HAM. Deportasi itu telah mengancam kebebasan berekspresi di Hong Kong. Padahal di Hong Kong sangat menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
"Sebenarnya ini juga mencederai demokrasi yang ada di sana, karena selama ini kan di Hong Kong dikenal memiliki kebebasan berekspresi untuk masyarakatnya," ujarnya.
Anis mengatakan bahwa di Hong Kong, sudah ada dua orang yang menjadi korban ketika melakukan kebebasan berekspresi. Dua orang tersbut yakni Veby Mega seorang jurnalis asal Indonesia di Hong Kong yang ditembak matanya dan Yuli Riswati menuliskan isu-isu demonstrasi yang di deportasi dengan dalih visanya overstay.
"Teman-teman di Hong Kong juga banyak yang menulis, Mbak Yuli ini yang kedua setelah Mbak Veby Mega jurnalis yang ditembak matanya itu," ujarnya.
Migrant CARE juga menyesalkan Pemerintah Indonesia yang dianggap abai dalam menangani kasus para pekerja migran Indonesia (PMI). Anis Hidayah menyebut jika pemerintah kurang memberikan perhatian dengan nasib para buruh migrannya. Bahkan, informasi adanya bantuan pemerintah Indonesia terhadap Yuli adalah omong kosong belaka.
Baca Juga: Yuli Riswati: Ingin Bantu Sesama Pekerja, Malah Ditahan bak Pelaku Kriminal
"Kami juga menyesalkan pemerintah Indonesia, seharusnya pemerintah lebih sensitif, informasinya Yuli nggak dapat bantuan apapun, malahan menyebarkan haoks menawarkan bantuan," ucap Anis.
Menurut Anis justru yang memberikan bantuan atau memerhatikan nasib dari Yuli Riswati atau buruh migran lainnya yang terkena kasus adalah IDWF dan LSM atau lembaga bantuan lainnya.
"Memang dalam kasus ini upaya pemerintah ngga ada bantuan, Justru International Domestic Worker Federation (IDWF) ke KJRI turut membantu berbicara dengan pemerintah Hong Kong terkait migrasi," lanjutnya.
Anis pun meminta kepada Pemerintah Indonesia harus bisa menjamin keamanan parah buruh migran. Tidak ada ancaman bagi para calon buruh migran yang akan bekerja di luar negeri.
"Kalau kita lebih mendorong pemerintah supaya migrasi aman, mengurangi kerentanan pekerja migran perempuan, praktek eksploitasi, atau ancaman kepada mereka, bahkan sebelum berangkat," ucapnya.
Selain itu, ia juga meminta kepada KBRI untuk terus memberikan akses bantuan hukum. Karena selama ini kasus-kasus yang dialami oleh buruh migran Indonesia kebanyakan berakhir dengan pilihan mediasi meski ada unsur pidana dalam insiden tersebut.
"KBRI harus terus di beri access to justice harus di prioritaskan, karena kasus-kasus yang ada lebih milih mediasi padahal ada unsur pidana, terus tidak semua diselesaikan harus dengan pulang, tapi harus diselesaikan di sana," kata dia.
"Terutama KBRI Malaysia harus berbenah karena ada yang meninggal kemarin itu," tambah Anis.
Kontributor : Arry Saputra