Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka pada Senin (16/12/2019) kemarin. Nurhadi diduga meneria suap dan gratifikasi sebesar Rp 46 miliar.
Terkait itu, Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah tidak mau bicara banyak. Namun, ia membenarkan jika Nurhadi pernah menjabat sebagai sekretaris MA mulai 2012 hingga awal 2016.
"Saya tidak bisa kasih jawaban, kalau Pak Nurhadi menurut informasi begitu, Pak Nurhadi memang pernah menjabat sebagai sekretaris MA mulai 2012 sampai 2016," kata Abdullah di Gedung MA, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
"Tetapi tahun 2016 mengundurkan diri sehingga sekarang bukan lagi kerja di Mahkamah Agung dan menjadi masyarakat biasa," sambungnya.
Baca Juga: Eks Sekretaris MA, Nurhadi, Diduga Terima Suap Rp 46 Miliar
Abdullah mengatakan proses penyelidikan terhadap Nurhadi masih berjalan. Mahkamah Agung kata dia, tetap menghormati proses hukum yang berjalan.
"Kalau kami di sini lakukan justufikais itu tidak etis ya. Sedangkan ini masih proses. MA menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Oleh karenaya saya mohon saudara-saudara sabar, berikan kesempatan untuk pihak petugas berwewenang kumpulkan fakta dan bukti," tutup Abdullah.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan bahwa Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap serta gratifikasi dalam penanganan perkara di MA pada periode 2011-2016.
Selain Nurhadi (NHD), dalam kasus itu KPK juga menetapkan dua tersangka yakni Direktur PT. Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HS) dan pihak swasta yang juga menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono (RHE).
Nurhadi diduga menerima suap atau gratifikasi terkait tiga perkara di MA. Pertama, perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010.
Baca Juga: Suap Perkara di MA, Nurhadi dan Menantu Kompak Jadi Tersangka