Suara.com - The Indonesian Institute (TII) merilis laporan akhir tahun 2019 dengan fokus sejumlah topik termasuk politik. Dalam catatannya, masih ada praktik jual beli suara ketika pemilihan umum berlangsung.
Peneliti Bidang Politik TII Rifqi Rachman menjelaskan, dunia perpolitikan di Indonesia diwarnai oleh praktik jual beli suara yang terjadi saat Pemilihan Legislatif atau Pileg 2019. Praktik tersebut terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Dengan fokus penelitian yang ada di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, saya berusaha mencari tahu tentang operasionalisasi praktik jual beli suara ini dari satu orang kandidat untuk tiap provinsi," kata Rifqi dalam pemaparannya di Kantor The Indonesian Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (17/12/2019).
"Di mana dua kandidat tersebut terbagi atas experience candidate dan first-timer candidate," sambungnya.
Baca Juga: Laporan Akhir Tahun The Indonesian Institute: Memudarnya Ideologi Parpol
Rifqi kemudian memaparkan cara masing-masing tim pemenangan calon-calon legislatif untuk meraup suara di Pileg 2019. Rifqi mencontohkan dengan seorang caleg yang memiliki dua tim pemenangan terpisah antara tim relawan dan tim sukses.
"Struktur ini berbeda dari wujud tim sukses kebanyakan yang banyak ditemukan peneliti lain," ungkap dia.
Kalau untuk tim pemenangan salah seorang caleg di Jatim tersebut memiliki tugas yang berbeda. Untuk tim sukses memiliki tugas mempertahankan suara pasti dari para loyalis. Sedangkan untuk tim relawan bertugas mencari suara baru di dapil caleg dengan praktik jual beli suara.
Total uang yang dikeluarkan oleh caleg tersebut mencapai Rp 700 juta untuk pembelian suara. Sedangkan untuk caleg asal Jawa Tengah menghabiskan Rp 8 miliar untuk membeli suara pada hari pencoblosan.
Dengan fenomena jual beli suara itu, Rifqi mendorong adanya mekanisme kandidasi oleh parpol yang terbuka, berbasiskan (merit system) dan secara simultan juga menerapkan nilai-nilai inklusivitas.
Baca Juga: TII: Jika Jokowi Setuju Revisi UU KPK, Penegakan Hukum Korupsi Akan Suram
"Juga mendorong wacana penggunaan sistem proporsional tertutup di Pemilihan Legislatif dengan reformasi mekanisme pengorganisasian partai sebagai syarat utamanya," tandasnya.