Suara.com - Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi, yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (16/12/2019) diduga telah menerima suap sebesar Rp 46 miliar.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan bahwa Nurhadi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menerima suap serta gratifikasi dalam penanganan perkara di MA pada periode 2011-2016.
Selain Nurhadi (NHD), dalam kasus itu KPK juga menetapkan dua tersangka yakni Direktur PT. Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HS) dan pihak swasta yang juga menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono (RHE).
Nurhadi diduga menerima suap atau gratifikasi terkait tiga perkara di MA. Pertama, perkara perdata PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) (Persero) pada 2010.
Baca Juga: Suap Perkara di MA, Nurhadi dan Menantu Kompak Jadi Tersangka
"Pada awal 2015, tersangka RHE menerima 9 lembar cek atas nama PT. MIT dari tersangka HS untuk mengurus perkara Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi No: 2570 K/Pdt/2012 antara PT MIT dan PT KBN (Persero) dan dalam proses hukum dan pelaksanaan eksekusi lahan PT MIT di lokasi milik PT KBN oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dapat ditangguhkan," ungkap Saut.
Untuk membiayai pengurusan perkara tersebut tersangka Rezky menjaminkan 8 lembar cek dari PT. MIT dan 3 lembar cek milik Rezky untuk mendapatkan uang dengan nilai Rp 14 miliar.
"Tetapi, kemudian PT. MIT kalah dan karena pengurusan perkara tersebut gagal maka tersangka HS meminta kembali 9 lembar cek yang pernah diberikan tersebut," tutur Saut.
Perkara kedua adalah pengurusan perkara perdata sengketa saham di PT. MIT. Pada 2015 Hiendra digugat atas kepemilikan saham PT.MIT. Perkara perdata ini dimenangkan oleh Hiendra mulai dari tingkat pertama dan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Januari 2016.
"Pada periode Juli 2015-Januari 2016 atau ketika perkara gugatan perdata antara HS dan Azhar Umar sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, diduga terdapat pemberian uang dari Tersangka HS kepada NHD melalui tersangka RHE sejumlah total Rp 33,1 miliar," ungkap Saut.
Baca Juga: Istri Nurhadi Sebut Uang yang Disita KPK untuk Perobatan Saraf Kejepit
Transaksi tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi.
"Pemecahan transaksi tersebut diduga sengaja dilakukan agar tidak mencurigakan karena nilai transaksi yang begitu besar. Beberapa kali transaksi juga dilakukan melalui rekening staf RHE," ujar Saut menjelaskan.
Tujuan pemberian tersebut adalah untuk memenangkan Hiendra dalam perkara perdata terkait kepemilikan saham PT.MIT.
Sedangkan perkara ketiga adalah penerimaan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan.
"Tersangka NHD melalui RHE dalam rentang Oktober 2014 – Agustus 2016 juga diduga menerima sejumlah uang dengan total sekitar Rp 12,9 miliar terkait dengan penanganan perkara sengketa tanah di tingkat Kasasi dan PK di MA dan permohonan perwalian," ungkap Saut.
Penerimaan-penerimaan tersebut, tidak pernah dilaporkan oleh Nurhadi kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.
Nurhadi dan Rezky disangkakan dengan pasal 12 huruf a atau huruf b subsider pasal 5 ayat (2) lebih subsider pasal 11 dan/atau pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji dan penerimaan gratifikasi dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sedangkan Hiendra disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b subsider pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal itu yang mengatur mengenai orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.