Suara.com - Sistem pendidikan nasional di Indonesia tampaknya masih memakai paradigma lama, meski Presiden Jokowi sudah mengangkat staf khusus dari kalangan milenial.
Setidaknya, hal tersebut tampak dari pernyataan Staf Khusus Presiden Jokowi, Aminudin Ma’ruf. Ia menuturkan, perlu ada perbaikan terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
Namun, alasannya adalah, tidak ada kecocokan antara sistem pendidikan dengan dunia industri yang akan dimasuki para pelajar seusai bersekolah.
Dalam acara MilenialFest di Balai Sarbini, Jakarta, Sabtu (14/12/2019), Aminudin mengatakan sistem pendidikan nasional selama ini tidak menerapkan konsep link and match.
Baca Juga: Stafsus Jokowi: Kaum Milenial Kalau Tak Produktif, Jadi Beban Negara
“Selama ini tidak ada link and match antara dunia pendidikan dengan dunia industri. Jadi kita sudah tidak kaget lagi kalau teman-teman, jangankan lulusan SMA, lulusan SMK saja itu masih perlu pelatihan-pelatihan untuk masuk dunia kerja,” kata Aminudin.
Untuk itu, kata Aminudin, perlu ada perbaikan agar ada kecocokan antara dunia pendidikan dan dunia tenaga kerja tersebut.
Ia berharap perbaikan tersebut dapat dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
“Artinya apa? Perlu perbaikan dalam sistem pendidikan kita dan mudah-mudahan adanya Mas Nadiem yang mewakili generasi kita, generasi anak muda, generasi milenial ini menjadi jawaban, terutama soal ketiadaan link and match.”
Untuk diketahui, sistem pendidikan Link and Match kali pertama diperkenalkan pada masa Orde Baru. Kala itu, pendidikan selalu dihubungkan dengan dunia kerja.
Baca Juga: Stafsus: Presiden Jokowi Dukung KPK Perkuat Pencegahan Berantas Korupsi
Artinya, pendidikan diarahkan guna menyiapkan tenaga-tenaga kerja siap pakai dalam beragam industri.
Jacques Delors (1996), secara teoritis menilai sistem pendidkan Link and Match secara praktis menempatkan pendidikan hanya pada proses belajar untuk mengetahui atau learning to know serta menguasai keahlian tertentu (learning to do).
Alhasil, pendidikan di Indonesia kalah jauh dengan negara-negara lain bahkan di kawasan ASEAN. Hal ini yang juga mendapat kritik dari berbagai pemerhati pendidikan.
Mereka menilai, pendidikan di Indonesia tidak diposisikan sebagai proses pembelajaran yang kritis, ilmiah, dan komprehensif.