Pada Tahun 2015, bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di lahan gambut terjadi di area kurang lebih 650 ribu hektare dari luas bentang alam gambut di Sumsel, yang totalnya mencapai 1,2 juta hektare. Dengan rincian wilayah yang terbakar, 534.162 hektare berada di kawasan konsesi dan 120 ribu lebih di areal non-konsesi, baik itu kawasan konservasi maupun yang dikuasai masyarakat setempat.
“Dari kejadian itu juga, maka ada beberapa langkah-langkah yang harus kita lakukan. Selain merestorasi dan merehabilitasi lahan gambut, yang tidak kalah penting, bagaimana masyarakat sekitar mendapat nilai tambah, meningkatkan nilai ekonomi mereka di sekitar lahan gambut,” ujar Kabid Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumsel Regina Ariyanti yang ditemui di ruang kerjanya pada Rabu (22/05/2019).
Regina mengatakan, Pemprov Sumatra Selatan telah mengambil langkah konkret terkait perlindungan dan pelestarian ekosistem gambut dengan menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Ekosistem Gambut dan turunannya berupa Pergub, serta juga Perda Pembakaran Lahan.
“Izin konsesi di kawasan gambut, juga masih dipetakan dengan detail lagi. Apakah perkebunan itu masuk kawasan konservasi atau apa? Ini perlu pendetailan sehingga tidak saling bertabrakan, semangat restorasi dengan investasi,” ujarnya.
Baca Juga: Orangutan Terkapar di Kebun Sawit, 24 Peluru di Badannya hingga Mata Buta
Implementasikan Moratorium Perizinan Industri
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel M Chairul Sobri mengatakan karhutla yang terjadi di tahun 2015, harus menjadi pembelajaran pemerintah, khususnya pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Mereka harusnya menerapkan kebijakan moratorium perizinan terutama untuk industri rakus ruang, dengan melakukan audit dan meninjau kembali perizinan perkebunan, khususnya di lahan gambut.
"Kerusakan lahan gambut terbesar akibat kebakaran terjadi di kawasan konsesi (perkebunan hutan kayu dan kelapa sawit), yakni lebih dari 500 ribu hektare luasannya,” katanya.
Ia mengatakan, aktivitas perkebunan di Sumsel bukan saja berdampak pada kerusakan lingkungan, tetapi juga menjadi penyebab meningkatnya konflik agraria.
Baca Juga: Terima Pebisnis Eropa, Jokowi: RI Tak Akan Diam Terhadap Diskriminasi Sawit
Sepanjang tahun 2018, tercatat 20 konflik agraria terjadi di Sumatera Selatan, antara masyarakat dengan perusahaan.