Perluasan Perkebunan Sawit, Ancaman bagi Lingkungan maupun Tradisi

Chandra Iswinarno Suara.Com
Selasa, 10 Desember 2019 | 18:46 WIB
Perluasan Perkebunan Sawit, Ancaman bagi Lingkungan maupun Tradisi
Seorang pemanen purun menambatkan perahu keteknya sebelum melakukan pemanenan di lebak purun Arang Tetambun, Jumat (09/05/2019). [Foto: Ibrahim Arsyad]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagi petani perempuan di Kecamatan Pedamaran, menganyam atau berambak tikar purun merupakan keterampilan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Dari luas area rawa gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir yang mencapai 150 ribu hektare, 120 ribu hektar di antaranya berada di kawasan Pedamaran.

Sebagaimana penduduk agraris pada umumnya, Masyarakat Pedamaran, dalam rantai perekonomian bertani tanaman padi tadah hujan hanya bisa menikmati panen setahun sekali. Namun, karena alamnya yang berawa gambut dan menjadi habitat tanaman purun, maka para petani menunjang kebutuhan ekonominya dengan kerajinan anyam tikar purun.

“Sehari-hari kami (ibu rumah tangga) ya menganyam tikar (purun). Ini (keterampilan mengayam) kami dapat dari gede (nenek) kami dulu,” ujar Depi (34) sambil memperlihatkan kelincahan jemarinya merajut helai-helai purun.

“Merata, perempuan di sini, bisa menganyam,” sambung ibu empat anak ini.

Baca Juga: Orangutan Terkapar di Kebun Sawit, 24 Peluru di Badannya hingga Mata Buta

Pengerjaan tikar purun tergantung pada aktivitas domestik perempuan. Dalam sehari, rerata perempuan di Menang Raya bisa menyelesaikan tiga hingga empat helai tikar. Tidak banyak yang dapat diperoleh dari anyaman tikar ini.

Meski tingkat kerumitan terbilang tinggi, sehelai tikar berukuran 2x1 meter hanya dihargai pengepul Rp 10.000. Dari hasil penjualan tersebut, keuntungan dari jerih payah mereka hanya mencapai Rp 3.000 setiap helainya. Sementara, Rp 7.000 untuk menebus bahan baku tikar (purun).

Penyuluh Industri Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Kabupaten OKI Didi Iswardi mengakui pemerintah daerah tidak memiliki catatan produksi tikar purun atau turunan lainnya.

“Hingga saat ini, kami tidak memiliki catatan terkait produksi purun dan juga sebaran penjualannya,” kata Didi pada Jumat (10/05/2019) silam.

Namun, ia mengatakan pemerintah daerah terus memantau dan berupaya memaksimalkan potensi kerajinan purun sebagai sektor penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Salah satunya melalui pendampingan, sehingga kerajinan yang dihasilkan bukan hanya tikar, tetapi juga tas, dompet, topi, sandal dan bentuk lainnya.

Baca Juga: Terima Pebisnis Eropa, Jokowi: RI Tak Akan Diam Terhadap Diskriminasi Sawit

Sementara di Pampangan, petani perempuan dan ibu rumah tangga juga menunjang perekonomian keluarga mereka dengan mengolah susu (puan) kerbau ras Pampangan (Bubalus bubalis) yang hidup dan digembalakan di rawa-rawa, terutama di Desa Kuro dan Desa Bangsal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI