Peneliti CSIS Sebut Alasan Pilkada Kembali Dipilih DPRD Lemah

Minggu, 08 Desember 2019 | 17:22 WIB
Peneliti CSIS Sebut Alasan Pilkada Kembali Dipilih DPRD Lemah
Diskusi bertajuk 'Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki' di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat pada Minggu (8/12/2019). [Suara.com/M Yasir]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) tak langsung atau kembali dipilih oleh DPRD tidak memiliki dasar yang kuat.

Menurut Arya, persoalan biaya politik tinggi, konflik dan polarisasi tidak bisa dijadikan alasan agar pilkada dikembalikan ke lembaga perwakilan rakyat.

Arya menuturkan, tingginya biaya politik bukan karena sistem pilkada langsung. Melainkan, karena praktik mahar politik yang diberikan calon kepala daerah kepada partai politik.

"Jadi alasannya bahwa mengembalikan pilkada ke DPRD karena alasan biaya dan kampanye menurut saya lemah dari sisi argumentasi," kata Arya dalam diskusi bertajuk 'Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amandemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki' di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat pada Minggu (8/12/2019).

Baca Juga: 826 Pasangan Suami Istri Cerai karena Pilkada Langsung

Kedua, Arya menilai alasan mengembalikan Pilkada ke DPRD karena pilkada langsung dinilai kerap menimbulkan konflik juga lemah. Sebab, kata Arya, berdasar data yang dikutip dari Kemenkopolhukam pascareformasi hingga kekinian, konflik yang terjadi di daerah bukan karena konflik politik. Tetapi, merupakan konflik akibat pengelolaan sumberdaya alam.

"Kedua, kita lihat tren konflik yang rentan dalam pilkada itu trennya juga menurun. Di Pilkada 2018, nyaris atau hampir tidak ada konflik yang terdengar. Ada yang bilang di Papua, tapi itu sangat kecil dari jumlah pilkada yang dilaksanakan. Jadi alasan konflik untuk menolak pilkada langsung itu juga menurut saya lemah," terangnya.

Terakhir, alasan adanya polarisasi akibat pilkada langsung dinilai Arya juga lemah. Menurut Arya, polarisasi muncul, jika terjadi kompetisi yang ketat. Sedangkan, kata Arya, berdasar catatan polarisasi tersebut tidak ditemukan dalam Pilkada sebelumnya.

"Kalau kita lihat sejak 2018 di pilkada maupun di pilkada sebelumnya nyaris polariasi itu secara dominan itu tidak terjadi. Kecuali sangat kentara di Jakarta, tapi di tempat lain pascapilkada aman-aman saja. Jadi tetap polarisasi ini bisa dicarikan jalan keluarnya, misalnya perbanyak jumlah calon."

Baca Juga: Tito Ingin Evaluasi Pilkada Langsung karena Ada Dampak Positif dan Negatif

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI