Suara.com - Kementerian Pertanian (Kementan) terus melakukan berbagai pembenahan dalam sistem penyediaan kebutuhan bahan pangan nasional. Menteri Pertanian Kabinet Indonesia Maju, Syahrul Yasin Limpo, seusai dilantik, menyatakan komitmennya memacu kemandirian pangan dan sedapat mungkin menghindari impor jika tidak mendesak. Selain itu, Kementan bertekad menyediakan produk pertanian dalam negeri yang berkualitas dengan harga terjangkau. Pembenahan data pangan dan perizinan impor menjadi prioritas awal, tak terkecuali untuk komoditas bawang putih.
Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto, saat dihubungi di Jakarta (24/10), mengatakan pihaknya masih terus memacu produksi bawang putih di dalam negeri. "Berdasarkan data BPS, produksi dalam negeri kita tahun 2018 lalu mencapai 39 ribu ton, naik 101% dari tahun sebelumnya yang hanya 19 ribu ton. Sementara kebutuhan konsumsi bawang putih mencapai 500 ribu hingga 600 ribu ton setahun. Artinya, kebutuhan konsumsi nasional sebagian besar masih harus mengandalkan impor," ujar Prihasto.
"Hasil panen 2018 dan 2019 masih kita fokuskan untuk menjadi benih untuk musim tanam tahun berikutnya, sehingga belum banyak mengisi pasar konsumsi. Nah, sembari kita pacu produksi dalam negeri, rekomendasi impor bawang putih juga perlu diatur dan dibenahi agar petani tetap bergairah menanam," tambahnya.
Menurut pria yang akrab dipanggil Anton tersebut, untuk mendukung peningkatan produksi bawang putih di dalam negeri, pihaknya telah dan akan terus merangkul para pelaku usaha atau importir bawang putih.
"Semua stakeholder kita libatkan, mulai dari Dinas Pertanian, petani, penangkar, Kementerian terkait, hingga importir bawang putih. Semua diajak untuk berpartisipasi meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri. Bentuknya dengan menanam dan memproduksi bawang putih melalui skema kemitraan dengan kelompok tani atau secara swakelola. Untuk importir, mekanisme teknisnya akan terus kita evaluasi dan perbaiki," ujar Anton.
Anton menegaskan, pihaknya terus menyempurnakan pelaksanaan peraturan terkait Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). "Sesuai ketentuan, kami hanya menerbitkan rekomendasi. Sementara untuk persetujuan dan volume impornya bukan menjadi domain Kementan. Semua proses penerbitan RIPH dilakukan secara transparan. Selama seluruh ketentuan dipenuhi, pasti RIPH akan dikeluarkan," kata Anton.
Menurut Anton, Kementan sangat menjaga dan memperhatikan persyaratan teknis seperti persyaratan keamanan Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), hasil analisis risiko organisme pengganggu tumbuhan dari Badan Karantina Pertanian, serta sertifikat Good Agricultural Practices (GAP) berstandar internasional. Selain itu, Kementan menurutnya juga perlu memastikan registrasi bangsal panen dari negara asal dan data kapasitas produksi dari kebun atau lahan yang telah diregistrasi di negara asal.
"Substansi dari persyaratan-persyaratan tersebut adalah untuk memudahkan penelusuran balik, memastikan produk hortikultura impor berkualitas dan aman dikonsumsi, serta mengamankan kekayaan plasma nutfah nasional kita," ujarnya.
Ditambahkan Anton, semua proses pengajuan RIPH dilakukan melalui daring atau online, sehingga tidak perlu bertemu petugas langsung. Rekomendasi yang telah diterbitkan akan disampaikan kepada Kementerian Perdagangan melalui portal Indonesia National Single Window (INSW), dan akan diproses melakui portal Inatrade, sebagai syarat diterbitkannya Surat Persetujuan Impor (SPI).
Oleh karenanya, Anton membantah tudingan dari pihak-pihak tertentu yang menyebut adanya praktik pengaturan kuota, kartel, bahkan monopoli dalam penerbitan RIPH di Kementerian Pertanian. "Yang jelas, praktek-praktek seperti monopoli, kartel dan pengaturan kuota tersebut tidak dikenal dalam proses penerbitan RIPH di Kementerian Pertanian," pungkas Anton tegas.