Suara.com - Komnas HAM mengatakan sebagian besar publik menginginkan kasus pelangggaran HAM berat masa lalu diselesaikan secara yudisial yakni melalui pengadilan. Komnas HAM mengungkapkan hanya sedikit publik yang menginginkan penyelesaian kasus pelangggaran HAM berat masa lalu diselesaikan melalui non yudisial termasuk lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi atau KKR.
Hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM Bidang Pengkajian dan Penelitian, Mohammad Choirul Anam.
Anam mengatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukan Komnas HAM bekerjasama dengan Litbang Kompas diketahui sebanyak 62,1 persen responden menginginkan penyelesaian kasus pelangggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme pengadilan nasional. Kemudian, 37,2 persen lainnya menginginkan diselesaikan lewat pengadilan internasional.
"Hampir 99,5 persen melalui pengadilan; 62,1 persen melalui pengadilan nasional, 37,2 persen melalui pengadilan internasional, 0,5 persen cara yang lain. Cara yang lain adalah KKR, rekonsiliasi," kata Anam di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (4/11/2019).
Baca Juga: Survei Komnas HAM: Publik Sangsi Jokowi-Ma'ruf Tuntaskan Kasus HAM Berat
Berdasarkan hasil survei itu, Anam mengatakan sebanyak 82,2 persen responden menginginkan Jokowi - Ma'ruf Amin segera menuntaskan kasus HAM berat masa lalu. Kemudian, sebanyak 70,9 persen responden menginginkan agar penuntasan kasus pelangggaran HAM berat masa lalu dilakukan dengan cepat dan tegas.
"Publik berharap pemerintah sesegera mungkin menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu dan bersikap tegas," ungkapnya.
Untuk diketahui survei terkait harapan publik terhadap penyelesaian pelangggaran HAM masa lalu di era Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin selesai dirampungkan Komnas HAM dan Litbang sejak 15 November 2019. Metodologi penelitian yang digunakan yakni kualitatif survei dan wawancara tatap muka.
Dalam rilis survei tersebut Komnas HAM bersama Litbang Kompas mengangkat 5 kasus HAM berat masa lalu; yakni Peristiwa 1965, Penembakan Misterius (Petrus) 1982-1985, Penculikan Aktivis 1997-1998, Penembakan Trisakti-Semanggi 1998, dan Kerusuhan 1998.
Adapun, responden yang dilibatkan dalam penelitian tersebut yakni sebanyak 1.200 responden yang tersebar di 34 provinsi dengan sampling error kurang dan lebih 2,8 persen. Responden tersebut merupakan laki-laki dan perempuan dengan proporsi 50:50 dan usia 17 sampai 65 tahun.
Baca Juga: Rocky Gerung Sebut Jokowi Tak Paham Pancasila, Istana: Tak Guna Ditanggapi