Suara.com - Dinamika perpolitikan agaknya sangat riuh memenuhi isi kepala Pramoedya Ananta Toer. Meski di bawah represi di masa Orde Baru sekalipun, ia tak segan terus membebaskan keberaniannya menulis tentang konsep politik yang penuh intrik.
Bahkan naskah dua karya terakhirnya, Arus Balik dan Arok Dedes, ia tulis pada 70-an, ketika dirinya diasingkan selama 14 tahun di Pulau Buru. Keduanya merupakan bagian dari tetralogi Arus Balik, Arok Dedes, Mangir, dan Mata Pusaran, yang disebut Anandito Reza Bangsawan memiliki keterkaitan dalam penggambaran sejarah dan politik dengan bahasa ringan dan bumbu kritik.
Namun, kata dia, Mata Pusaran tak memungkinkan untuk diterbitkan kala itu karena situasi dan kondisi pada zamannya. Anandito pun mengulik Arus Balik dan Arok Dedes, yang kemudian kajiannya diterbitkan dalam bentuk buku Pramoedya Ananta Toer, Politik & Sastra. Penulis kelahiran Bekasi, 9 Agustus 1987 ini menganalisis konsep "Politik Jawa" di mata Pramoedya dalam dua novel itu.
Berdasarkan kajiannya, Anandito membeberkan bagaimana Pramoedya mendeskripsikan, di kedua novel tersebut, cara "politik Jawa melakukan kudeta dari kelompok lapisan bawah untuk merebut kekuasaan -- penuh intrik, lobi, lempar batu sembunyi tangan, perencana menjadi terhormat, dan yang tak terlibat menjadi korban hingga ditumpas habis-habisan."
Baca Juga: Kewalahan karena Kekurangan Armada, Warga Diminta Pilah Sampah Sendiri
Anandito menilai, penggambaran Pramoedya tentang politik Jawa di dua buku itu tak ubahnya tragedi peralihan kekuasaan di masa Orde Lama ke Orde Baru, di mana kepemimpinan penguasa "dibangun dengan pola ekspansi, militeristik, konflik, kudeta, dan pengkhianatan orang dalam lingkar kekuasaan."
Meski begitu, Arok Dedes dan Arus Balik sebenarnya memiliki latar waktu yang berbeda. Arok Dedes diceritakan pada zaman kejayaan kerajaan Hindu-Buddha, sedangkan Arus Balik di akhir kejayaan Majapahit, ketika praktik Islamisasi di Indonesia mulai meluas. Satu yang membuat keduanya saling terkait, yaitu soal "merebut, mempertahankan, dan mengamankan kekuasaan."
Bagi Anindito, di kedua karyanya, Pramoedya secara tersirat menggambarkan sosok penguasa yang membuat aturan demi keuntungan kelompoknya saja dengan cara yang otoriter, sewenang-wenang, dan menindas. Politik Jawa pun makin terasa nyatanya dengan dominasi orang Jawa sejak era Soekarno hingga Jokowi saat ini.
Sebagai tambahan, Anandito menerangkan, keterkaitan antara dua novel Pramoedya dengan politik di Indonesia juga makin nampak melalui kemiripan dua tokohnya: Ken Arok di Arok Dedes dengan cara Soeharto menjadi Presiden ke-2 RI dan Wiranggaleng di Arus Balik dengan cara Gus Dur menjadi Presiden ke-4 RI.
Baca Juga: Bea Cukai Investigasi soal Harley Davidson Ilegal di Pesawat Garuda