Revitalisasi TIM Tuai Polemik, DKJ Kritisi Kurangnya Publikasi dari Jakpro

Selasa, 03 Desember 2019 | 13:16 WIB
Revitalisasi TIM Tuai Polemik, DKJ Kritisi Kurangnya Publikasi dari Jakpro
Sebagai ilustrasi: Pekerja menyelsaikan atap gedung Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (28/9). [Suara.com/Muhaimin A Untung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pembangunan hotel yang sempat direncanakan oleh penggarap proyek revitalisasi Taman Ismail Marzuki (TIM), PT Jakarta Propertindo (Jakpro) menuai polemik. Terdapat penolakan dari para seniman karena rencana itu dianggap akan menjadikan TIM yang merupakan kawasan seni dan budaya menjadi bisnis

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pengurus kegiatan seni di TIM menganggap polemik muncul karena publikasi yang kurang dari pihak Jakpro. Terlebih lagi ketika masalah hotel mencuat, banyak informasi yang dianggap mengalami distorsi.

Salah satu informasi yang tidak sesuai adalah adanya istilah bintang lima pada hotel yang akan dibangun itu. Plt Ketua DKJ, Danton Sihombing mengaku tidak pernah mendengar hotel yang akan dibangun itu berpredikat bintang lima.

Lalu, kata Danton, ada juga anggapan TIM akan dijadikan hotel seluruhnya. Berdasarkan yang ia ketahui, hanya 4,1 persen dari keseluruhan luas lahan TIM yang akan dijadikan hotel.

Baca Juga: Hotel Ditolak dan Anggaran Dipangkas, Jakpro Ingin Lepas Revitalisasi TIM

Danton menilai Jakpro tidak terlalu masif dalam melakukan publikasi. Ia mencontohkan seperti gambar-gambar desain revitalisasi TIM yang tak dipasang sepanjang wilayah TIM.

Jika itu dilakukan, Danton menyebut masyarakat serta seniman setempat bisa mengetahui desain TIM setelah dibangun dan tidak ada distorsi informasi.

Mengenai hotel yang diwacanakan dapat menguntungkan seniman, Danton menganggap itu adalah urusan Jakpro nantinya. Namun ia menegaskan berkeinginan peran DKJ nantinya setelah revitalisasi TIM tidak berubah.

"Intinya diperkuat sajalah kehumasannya yang jelas, tanpa harus emosi, nampaknya kan sekarang jadi tegang nih hubungannya, ya enggak perlu lah. Orang ini niatan revitalisasi itu sangat baik sekali kok, cuma kan kurang informasi saja. Jadi wajarlah kaget tiba-tiba ruang seni mendadak jadi ruang konstruksi seperti itu kan, kalau saya kan hampir setiap hari ke TIM, jadi udah ngerti. Tapi orang yang sudah lama gak ke TIM tiba-tiba meilhat itu ya kaget lah, tanya macem-macem. Sudah gitu gak ada gambar, lah ini lagi ngapain di TIM," ujar Danton kepada Suara.com, Senin (27/11/2019).

Berikut wawancara lengkap Suara.com bersama dengan Danton Sihombing:

Baca Juga: DKJ Duga Pemicu Seniman Protes karena Sosialisasi Revitalisasi TIM Minim

*Rencana pembangunan hotel di TIM gimana? Ada penolakan dari seniman?*

Jadi poin pertamanya, ini masalah kehumasan yang harus dibenahi. Informasinya kan hotel itu sendiri yang kita tahu dari informasi Jakpro itu luasannya enggak gede-gede amat. Itu 4,1 persen dari total seluruh kawasan. Terus isu hotel bintang lima, kami sendiri enggak tahu itu ada imbuhan bintang lima segala macem. Nanti masalah hotel lebih baik tanya ke Dwi Wahyu, Dirut Jakpro.

Kalau dari sisi seniman bahwa yang lebih penting statemen atau pernyataan Jakpro itu sudah jelas bahwa dia hanya mengelola di wilayah sarana dan prasarana. Dia tidak akan mencampuri kerja-kerja kesenian. Itu jelas.

Nah jadi sekarang menurut saya, sekarang adalah komunikasi atau informasi kehumasan yang kurang lengkap saja gitu ya. Itu yang harus dibenahi ajalah.

*Tapi dari DKJ sudah setuju dengan adanya hotel itu?*

Hotel itu bisa dilihat sebagai pelengkap, bukan yang utama. Utama tetap orang2 kesenian. Jadi kalau secara pendekatan juga akan dilakukan semacam galeri ksrya seni segala macem, artinya tidak seperti hotel yang kita bayangkan secara umum.

*Sejauh yang DKJ tahu itu bukan bintang lima? Hanya wisma biasa?*

Informasinya begini. Saya belum pernah denger sih dari Jakpro akan bintang lima gitu ya. Keterangan tertulis belum pernah ada. Jadi saya juga enggak tahu memunculkan keterangan bintang lima dari mana, wajar saja lah ya orang akan kaget, bahkan ekstrimnya saya lihat di Twitter segala macem TIM akan dijadikan hotel hahaha aneh lah ya. Jadi banyak distorsi. Cuma masalah komunikasi aja ini. Jadi saya sarankan diperjelas terutama isu2 kritis kaya gini segala macem.

Revitalisasi TIM itu menurut kami harus karena gedung-gedung kaya ruang pamer sudah enggak layak dan segala macem. Niatanya bagus baik itu dalam kegiatan strstegis daerah (KSD) oleh pemprov, dalam kategori pengembangan kawasan pariwisata dan kebudayaan. Itu yang disebut dalam KSD. Seperti itu. Kembali yang diutamakan adalah ruang-ruang seni tetap.

*Kalau dari Jakpro akan beri keuntungan kepada seniman lewat pembangunan hotel itu, semisal pameran karya di hotel. Sudah ada pembicaraan belum soal itu? Teknisnya gimana?*

Makanya saya juga sarankan ke jakpro berikan penjelasan yang sejelas-jelasnya ke publik di wilayah yang lagi hangat dibicarakan ini. Kalau enggak, nanti isunya bergulir enggak karuan. Kalau itu dijelaskan dengan baik detail peruntukannya seperti apa, jadi di situ konon ada hotel dan Wisma seni.

Jadi dulu di TIM ada yang namanya wisma seni. Jadi biasanya dosen ikj atau seniman dari luar kota datang ke TIM, mereka menginap di wisma seni. Ini pertimbangannya wisma seni.
Kalau hotel ini rencananya kan gub ingin menjadikan TIM bertaraf internasional. Misal ada tamu asing yang menikmati kesenian di TIM, atau pemain orkestra dan teater menginap di hotel situ.

Yang membuat ramai itu kan ada kata bintang lima pada hotel itu. Jadi, publik membutuhkan kejelasan.

*Tapi kalau yang katanya hotel menguntungkan seniman, emang iya?*

Tanya ke jakpro. Menurut pandangan saya sih bisa juga hotel itu di buat dengan konsep art hotel. Misalnya melebur dengan galeri pameran dari seniman. Kemungkinan juga kan dibeli. Tapi saya belum tau juga nanti mau bagaimana

*Komunikasi sama jakpro jalan terus?*

Jalan sih tapi sebenernya enggak intens juga. Yang terpenting kami melihat dari DKJ itu setelah TIM direvitalisasi, harus tetap menjalankan peran yang sama sebagai kurator karya seni dan pagelaran di TIM. Jangan sampai gedung gedung dipakai buat pensi dan kondangan, kalo ada itu kita akan tegor karena menurut kami standar kualitas kesenian TIM harus dijaga. Kalau pengelolaan perawatan gedung silakan aja di jakpro

*Sejauh ini DKJ itu pernah ngobrolin apa sih sama Jakpro, misalnya soal bangunannya atau gimana?*

Mereka sih pernah presentasi ya, bangunannya dan segala macam, jadi bangunan itu ada dua fase, yang sekarang ini saya rasa sudah masuk fase kedua yang sudah masuk ke arah Planetarium itu ya. Mereka menjelaskan segala macam. Kemudian dari yang seperti yang disampaikan dalam video itu, dalam youtube Andra Martin itu nah itu seperti itulah penjelasannya.

Tapi memang begini, dalam proses ini masih ada konsultasi misalnya kalau dulu kan ada teater terbuka, zaman dulu ya, ada teater arema, itu mempunya narasi-narasi kesenian yang bagus, tapi juga jangan samapi hilang lah kami menyampaikan ke mereka itu. Tapi, cukup ini sih, cukup memberikan banyak pagar-pagar supaya jangan keliru dalam menerjemahkan TIM gituloh.

Cuma ya itu di awal-awal ya, kemudian yang kedua kritik kita adalah masalah komunikasi, udah lama nih masalah kehumasan, contoh saya sarankan ke mereka itu seng-seng pembatas konstruksi, istilahnya hording ya itu kasih aja informasi tentang pembangunan ini seperti apa gambar ruang-ruangnya, dan segala macam, untuk apa, itu kan untuk memberi pengetahuan ke publik mengenai apa yang sedang dibangun. Ya sampai sekarang, mas sudah ke TIM belum? Seng-seng penutup ya, tempelin aja di formasi yang besar gitu kan, gambar TIM tuh kayak apa kedepannya, ruang-ruangnya seperti apa peruntukannya untuk apa, itu kan sudah sangat menolong gituloh.

Ya sekarang coba, mas pernah lihat gak gambar arsitektur TIM kayak apa jadinya? Udah pernah lihat belum? Nah kan belum kan, kan maksudnya enak kan ada keterangan-keterangan TIM kedepan kayak apa gituloh. Itu saran saya waktu itu, tapi sampai sekarang belum dipasangkan.

*Dari kapan ngasih saran itu?*

Udah lama, tiga bulan lalu kalo gak salah

*Itu juga yang akhirnya memunculkan pertentangan dari seniman gitu?*

Mungkin iya, salah satunya, kan sederhana sajalah, kalau ada gambar itu orang kebayang ini untuk apa, benarkah ada hotel atau tidak, benar gak bintang lima. Konfirmasi itu bisa selesai sebenernya di urusan sesimpel itu kan solusinya.

*Sampai saat ini masih ada pertentangan dari seniman? Dan gimana DKJ menanganinya?*

Sebenarnya itu kan gini loh, itu boleh dikata pertentangan, pertentangan mungkin sebagian tidak bisa mewakili seluruh seniman, apalagi seluruh seniman Jakarta, ini juga harus kita lihat tidak sepenuhnya mewakili, tapi konsep mereka adalah hak demokratis mereka untuk menyampaikan aspirasi-aspirasinya. Intinya diperkuat sajalah kehumasannya yang jelas, tanpa harus emosi, nampaknya kan sekarang jadi tegang nih hubungannya, ya enggak perlu lah, orang ini niatan revitalisasi itu sangat baik sekali kok, cuma kan kurang informasi aja, jadi wajarlah kaget tiba-tiba ruang seni mendadak jadi ruang konstruksi seperti itu kan, kalau saya kan hampir setiap hari ke TIM, jadi udah ngerti. Tapi orang yang sudah lama gak TIM tiba-tiba meilhat itu ya kaget lah, tanya macem-macem, udah gitu gak ada gambar, lah ini lagi ngapain di TIM. Nah ada yang jail bikin cerita macem-macem bisa aja kan dikembangkan.

*Kan awalnya enggak ada hotel di desain awalnya, terus tiba-tiba ada hotel, itu gimana?*

Itu kan prosesnya sayembara, hasil sayembara tahun 2007 kalau tidak salah, itu Andra Matin, itu memang tidak ada hotel, nah terus belakang-belakangan ini, hotel ya mungkin, bisa jadi ya, ini saya pikir kalau jadi kan keharian mereka di BUMD di TIM itu, mereka menginvestasikan uang sebesar sekitar Rp1.8 triliun lah ya, ada pembangunan TIM, tentunya kan dia BUMD, ya namanya Badan Usaha tentu ada rumusan pengembalian modal, jadi kalau gak salah secara hukumnya mereka akan 30 tahuh lah ya untuk pengelolaan sarana dan prasarana itu ya nantinya, nah yang sudah kami pesan-pesan juga, jangan sampai ruang-ruang ini dikomersialisasi yang gak karuan.

Misal harga tiket jadi tinggi segala macam. Cuma kan logikanya juga harus kita lihat, bagaimana mengembalikan uang itu, sebesar Rp1.8 triliun dari mana? Ya mungkin akhirnya dimunculkan hotel salah satunya untuk mendapatkan pendapatan tanpa harus mengorbankan ruang seni gituloh.

Saya sih disitu kalau logika berpikirnya seperti itu ya okelah, boleh. Cuma kalau misalnya, kalau dari tiket aja itu gak mungkin lah itung-itungannya bsia balik modal segitu, nah kalau kita bayangkan nih ruang-ruang seni itu tiba-tiba harus berbayar semua, dengan nilai yang tidak karuan, misalnya kita nonton teater tiba-tiba teater koma harganya jadi Rp 3 juta-Rp 4 juta ya siapa gitukan? Itu megorbankan banyak pihak, ya senimannya sendiri, ya kayak gitu kan aneh, menjadi gak wajar logikanya, makanya harus dijaga kenormalannya di ruang-ruang seni, dijaga kenormalan secara harga segala macam dan juga sewa.

Bayangkan kalau seniman mau sewa nanti, misalnya gedung teater atau apa harga yang melunjak ya siapa juga yang masuk? Ya mungkin salah satu solusinya harus dicari mekanisme untuk pengembalian modal ya salah satunya dari pengembalian hotel, ya saya rasa kalau itu cukup fair lah ya, tapi Badan Usaha Milik Negara kan mekasnisme kerja korporasi biasa lah, Cuma milik publik daerah, pemerintah daerah, gitu aja.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI