Jokowi Digugat karena Blokir Internet Papua, Perkaranya Segera Disidangkan

Senin, 02 Desember 2019 | 18:22 WIB
Jokowi Digugat karena Blokir Internet Papua, Perkaranya Segera Disidangkan
Presiden Jokowi latihan tinju (YouTube)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Buntut pemblokiran akses internet saat kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu, sejumlah pihak menggugat Presiden Joko Widdo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kini gugatan tersebut sebentar lagi akan sidangkan. 

Gugatan tersebut dilayangkan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), SAFEnet sebagai penggugat dan LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR sebagai kuasa hukum dengan nomor perkara 230/G/2019/PTUN-JKT.

Namun majelis hakim PTUN menyatakan jika gugatan tersebut adalah kewenangan Tata Usaha Negara (TUN) dalam proses dismisal pada Senin (2/12/2019). Alhasil, hakim dalam hal ini bisa menyidangkan perkara tersebut.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, proses dismisal atau pengecekan kewenangan pengadilan ini merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) baru Nomor 2 tahun 2019. Gugatan tersebut adalah yang pertama menggunakan dasar gugatannya sejak PERMA tersebut terbit.

Baca Juga: Presiden Jokowi Digugat ke Pengadilan, Kasus Blokir Internet Papua

"Segala tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hukum itu akan beralih pada kewenangan pengadilan TUN, tadi majelis hakim sudah menyatakan ini adalah kewenangan pengadilan tata usaha negara dan selanjutnya mereka akan menunjuk hakim menyidangkan perkara ini. Artinya dalam kewenangan pengadilan ini sudah selesai dan ini adalah kewenangan tata usaha negara,” kata Ade di Jakarta, Senin (2/12/2019).

Ade menyatakan, tindakan pemerintah dalam pemutusan akses internet adalah perbuatan melanggar hukum. Sebab, hal tersebut merugikan kebebasan pers serta berekspresi.

Sehingga, Ade menyayangkan sikap pemerintah yang hadir dalam proses persidangan dengan hanya melalui Kementerian komunikasi dan informatika selaku tergugat dua. Sementara tergugat pertama Presiden Joko Widodo, tidak mengirimkan perwakilannya.

"Kami sangat menyayangkan karena ini adalah proses yang legal konstitusional di pengadilan. Kalau mereka (pemerintah) anggap tindakan tersebut sebagai tindakan yang taat hukum, harusnya datang ke persidangan,” katanya.

Sementara, Ketua AJI Abdul Manan mengatakan, gugatan ini akan menjadi preseden baik bagi pihak yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Manan juga menyebut kalau pemblokiran akses internet sangat merugikan.

Baca Juga: Lima Tahun Rudiantara di Kominfo: Palapa Ring hingga Blokir Internet

“Pertama karena kita menganggap tindakan memblokir internet dengan kebijakan yang tidak pantas itu, yaitu hanya mengeluarkan siaran pers menurut saya itu tidak proper untuk sebuah kebijakan yang berdampak sangat besar kepada kehidupan publik,” kata Manan.

Manan menjelaskan, pemerintah telah mengambil hak mayarakat soal informasi. Jika pemerintah ingin melakukan pemblokiran, seharusnya sudah disiapkan dasar hukum yang lebih kuat dari sekedar press release.

“Kedua Saya kira kita juga ingin melakukan koreksi kepada pemerintah bahwa pemblokiran bukan tidak boleh dilakukan tapi kita ingin memastikan bahwa pemerintah pemblokiran itu dilakukan dengan cara yang cukup akuntabel misalnya pemerintah harus mempersiapkan argumentasi yang cukup kuat kalau bisa melalui pengadilan untuk melakukan tindakan semacam ini,” kata Manan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto. Menurutnya, kebijakan dua kali pemutusan akses internet di Papua pada saat rusuh Agustus lalu, merugikan masyarakat secara luas.

"Tanggapan dari pemerintah agak mengecewakan karena sampai hari ini kami tidak menerima jawaban terhadap keberatan tersebut. Proses lanjutan dari proses keberatan sebelumnya ya ke pengadilan proses pertanggungjawaban,” ujar Damar.

Damar menambahkan, pemblokiran akses internet turut menjadi sorotan forum internasional yang diikuti Safenet baru-baru ini. Sebab, pemerintah melakukan represi dengan cara pemutusan informasi secara sepihak.

"Tindakan ini dikecam oleh dunia internasional sebagai cara-cara baru pemerintah untuk merepresi masyarakat dalam mengontrol informasi. Kami tidak ingin pemerintah lari dari tanggung jawab,” kata Damar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI