Suara.com - Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Barat (2012-2016) dan Jawa Timur (2016-2018) Gusmin Tuarita ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan penerimaan gratifikasi senilai Rp 22,23 miliar yang ditangani KPK.
Selain Gusmin, KPK juga menetapkan Kepala bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN Kalimantan Barat Siswidodo sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
"Kami sudah meningkatkan status perkara terhitung 4 Oktober 2019 dan menetapkan dua tersangka yaitu GTU (Gusmin Tuarita), Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat (2012-2016) dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur (2016-2018) dan SWD (Siswidodo), Kabid Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah kantor BPN wilayah Kalimantan Barat," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Selama penyidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sebanyak 25 orang saksi yang terdiri dari unsur swasta dan pegawai negeri, yaitu PNS di BPN Kantor Wilayah Kalbar dan Kantor Pertanahan Pontianak, Kepala Kantor Pertanahan di daerah lain di Kalbar sejumlah Direksi, Kepala Divisi Keuangan dan pegawai perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan Sawit di Kalbar.
Baca Juga: Diperiksa KPK, Eks Menag Lukman Hakim Dicurigai Terima Gratifikasi
Selain itu, KPK juga telah melakukan pemeriksaan terhadap tersangka Siswidodo pada hari Kamis, 28 November 2019. Sedangkan tersangka GTU dijadwalkan pada 25 November 2019 namun tidak datang. Para tersangka akan kami panggil kembali sesuai kebutuhan penyidikan.
Gusmin pada saat ini menjabat sebagai Inspektorat Wilayah I BPN merupakan Kepala Kantor Wilayah BPN Kalimantan Barat yang menjabat sejak Juli 2012 hingga 2016, dan kemudian menjadi Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Timur sejak Agustus 2016.
"Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut, tersangka GTU selaku Kakanwil BPN Provinsi Kalimatan Barat dibantu oleh tersangka SWD selaku Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Wilayah BPN Provinsi Kalimantan Barat dan pada tahun 2016 selaku Kepala Bidang Hubungan Hukum Pertanahan," katanya.
Sebelum memberikan izin HGU, terdapat proses pemeriksaan tanah oleh panitia yang dibentuk oleh tersangka Gusmin selaku Kakanwil BPN. Susunan panitia antara lain Gusmin sebagai ketua merangkap anggota panitia dan tersangka Siswidodo sebagai anggota.
Atas dasar pertimbangan dari panitia B Kakanwil BPN akan menerbitkan surat keputusan pemberian HGU dan surat rekomendasi pemberian HGU kepada kantor pusat BPN.
Baca Juga: Kepada Menteri Jokowi, Ini Penjelasan KPK Soal Batasan Hukum Gratifikasi
Pada periode 2013-2018, Gusmin diduga menerima sejumlah uang dari para pemohon hak atas tanah termasuk pemohon HGU baik secara langsung dari pemohon hak atas tanah ataupun melalui tersangka Siswidodo.
"Dalam proses tersebut, tersangka SWD kemudian diduga memberikan uang secara tunai kepada tersangka GTU di kantor ataupun di rumah dinas. Atas penerimaan uang tersebut, tersangka GTU telah menyetorkan sendiri maupun melalui orang lain sejumlah uang tunai dengan total sebesar Rp22,23 miliar," katanya.
Uang tersebut disetorkan ke beberapa rekening miliknya pribadi, rekening milik istrinya, rekening milik anak-anak Gusmin. Selain itu, uang tunai yang diterima oleh Siswidodo dari pihak pemohon hak atas tanah dikumpulkan ke bawahannya yang kemudian digunakan sebagai uang operasional tidak resmi.
"Sebagian dari uang digunakan untuk membayarkan honor tanpa kuitansi, seremoni kegiatan kantor, rekreasi pegawai ke sejumlah tempat di Nusa Tenggara Barat, Malang dan Surabaya, serta peruntukan lain," kata Laode.
Siswidodo juga memiliki rekening yang menampung uang dari pemohon hak atas tanah tersebut dan digunakan untuk keperluan pribadi.
"Tersangka GTU dan SWD tidak pernah melaporkan penerimaan uang-uang tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam jangka waktu 30 hari kerja terhitung sejak tanggal uang-uang tersebut diterima," kata Laode.
Dalam kasus ini, kedua tersangka dijerat Pasal 12 B UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.