Suara.com - Politikus Partai Demokrat Andi Arief mempertanyakan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) terkait usulan presiden dan wakil presiden kembali dilakukan MPR. Ia menilai ada hal yang rancu di balik usulan tersebut.
Untuk membuktikan asumsinya, Andi Arief pun membuka dokumen Munas NU tahun 2012 yang dihelat di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
Ia mengklaim tidak ada pernyataan mengenai usulan presiden dan wakil presiden dipilih MPR seperti zaman Orde Baru dalam dokumen tersebut.
Pernyataan Andi Arief itu disampaikan melalui jejaring Twitter pribadinya @AndiArief_, Kamis (28/11/2019).
Baca Juga: Deretan Stafsus Maruf Amin, Dari Mantan Menteri hingga Pengurus Besar NU
"Saya baru buka dokumen Munas NU tahun 2012, tidak ada kalimat satu pun hasil Munas yang menyebutkan bahwa pemilihan Presiden kembali dipilih MPR seperti jaman Orba," tulisnya.
Ia pun mengatakan, ketika pemerintahan Orde Baru sejumlah tokoh intelektual NU justru memperjuangkan agar presiden dipilih rakyat secara langsung, bukan ditunjuk MPR. Sehingga, bertolak belakang dengan pendapat sekarang.
"Tahun 1990 an tokoh dan intelektual NU termasuk berjuang agar Presiden tidak dipiiih MPR. Ada apa NU sekarang?" tanya Andi Arief.
Seperti dikutip dari laman resmi NU, PBNU memberikan sejumlah usulan yang disampaikan kepada Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam pertemuan di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Rabu kemarin.
Salah satunya, PBNU menyarakan agar pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dilakukan oleh MPR berdasarkan keputusan Munas NU pada 2012.
Baca Juga: Ucapkan Salam Lintas Agama, Mendes Abdul Halim: NU Bolehkan, Itu Enaknya NU
PBNU menilai pemilihan presiden secara tak langsung oleh MPR memiliki lebih banyak manfaat daripada dipilih rakyat.
"Pemilihan presiden dan wakil presiden (melalui MPR) lebih tinggi kemaslahatannya ketimbang langsung karena (kalau langsung) lebih banyak madlaratnya. Itu adalah hasil Munas NU di Pesantren Kempek, di Cirebon pada Tahun 2012," kata Bamsoet.
Sementara usulan PBNU lainnya terkait mengkaji persoalan keadilan dan pemerataan ekonomi, menghidupkan kembali utusan golongan, menghadirkan kembali GBHN serta mengukuhkan MPR sebagai lembaga tinggi negara.