Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Asia Federation Against Involuntary Disappearance (AFAD) desak pemerintah meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa sebagai bukti komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM.
Deputi Koordinator KontraS Feri Kusuma mengatakan, konvensi ini dibutuhkan sebagai upaya preventif dan korektif negara dalam menjamin perlindungan bagi semua orang dari penghilangan paksa.
Khususnya, untuk kasus yang terjadi pada masa Orde Baru yang termasuk pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 1965-1966, Timor-Timur 1975-1999, Tanjung Priok (Jakarta) 1984, Tragedi Talangsari (Lampung) 1989, Masa Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, Penembakan Misterius (Petrus) 1981-1985, serta Penculikan aktivis 1997/1998.
"Keuntungan melakukan ratifikasi Konvensi bagi Indonesia adalah memperkuat sistem legislasi dan supremasi hukum dalam negeri. Hal tersebut berkaitan dengan pemberian kepastian hukum bagi korban dan keluarga korban," kata Feri dalam konferensi pers di Hotel AONE, Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2019).
Baca Juga: Enam Polisi Hanya Jalani Sidang Etik, Amnesty dan KontraS: Polri Gagal
Terlebih, Indonesia juga ditunjuk sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (Non Permanent Members of UN Security Council) hingga 2020 serta terpilih kembali sebagai Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) periode 2020 – 2022 yang menunjukkan nama Indonesia diperhitungkan dalam aras politik global.
Selain itu, pengesahan konvensi ini juga sejalan dengan salah satu rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada tahun 2009 untuk kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997/1998, butir keempat.
Bahkan, rencana ratifikasi juga telah dua kali masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM yakni pada periode 2011 – 2014 dan 2015–2018. Pemerintah telah menandatangani Konvensi ini pada tahun 2010 silam.
Oleh karena itu, keluarga korban dan organisasi masyarakat sipil kepada DPR atau pemerintah untuk mendorong rencana pengesahan ratifikasi Konvensi masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) periode 2019 – 2024.
"Penyertaan tersebut menjadi amat penting untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak korban seperti hak keadilan, hak kebenaran, hak reparasi dan jaminan ketidakberulangan sebuah peristiwa. Pengesahan juga akan semakin menentukan posisi tawar Indonesia dalam dunia internasional," jelasnya.
Baca Juga: KontraS Sebut Rakyat Tidak Butuh Pemekaran Provinsi Papua Selatan
Penunjukkan Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (Non Permanent Members of UN Security Council) dan sebagai Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) periode 2020 – 2022, akan semakin relevan dan tidak hanya sebagi sebuah prestis semata.